badge

Jumat, 18 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [5]



"Dedemit Kampus Hijau"
(Part 2)



KISAH SEBELUMNYA


Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat, jantungku terpompa tak jelas, dan mataku melotot sempurna. Tanpa berpikir panjang dan batal tertib wudhu aku meloncat sigap menuju koridor! Berlarian cepat menuju kesekretariatan dengan nafas sesak memburu! Berharap makhluk itu tidak mengejarku.

Dengan sigap dan tak bersuara aku masuk ke dalam sekretariatan. Menutup pintu dan merapatkan gorden sekretariat. Was-was kalau makhluk mengerikan itu mengejarku dan mengintip lewat jendela. Aku mundur satu langkah――”Aa*#&^!$@haduh!”

“~%$---Apa-apaan…sih, Rif…!” Zaman sontak menghardikku――Arh, aku menginjak kakinya!
“....” Aku bingung mau menjelaskan apa, pasti memalukan kalau mengatakan aku lari karena melihat dedemit di Mushalla.

“Ada apa toh?” Zaman mengusap wajah, matanya masih memicing karena semburat cahaya mulai menyelusupi pandangannya. “Hah, kenapa?!” lanjutnya penasaran.

Keringat dingin mengucur di pelipisku. Aku menelan ludah, “Dedemit di mushalla....” jawabku lirih.
“Dedemit!” Mata Zaman membulat, kelopaknya terbuka lebar. “Aneh-aneh aja kamu, Rif!”

“Bener! Aku lihat sendiri!” jawabku meyakinkan. “Kalau nggak percaya lihat saja sendiri!!” tegasku karena aku tak mau dikatakan pembohong. Baru kali ini aku melihat dedemit, seumur-umur di Darwisy Ihsan kami cuma saling menakut-nakuti kemunculan makhluk itu di kebun pisang dekat surau.

Zaman bangkit dari duduknya, melangkah melewatiku yang masih merinding, mengintip melalui gorden jendela yang tadi kututup, memandang ke arah koridor yang remang. Pemuda tambun itu lalu membuka pintu dan melangkah keluar sekretariat. Siap tempur. Begitulah gayanya. Aku mengekor di belakangnya dengan mental kerupuk. Aku berharap kalau si dedemit muncul aku bisa lari lebih dulu. Beginilah kalau Iman melempem, bisanya sembunyi____Jangan dicontoh kawan!

Kami melangkah menuju tempat wudhu, Astaghfirullah!! Ternyata aku juga sampai lupa menutup keran tempat wudhu. Airnya mengucur deras. Zaman menoleh dengan tatapan menghakimi padaku. Aku tersenyum kecut. Zaman menutup keran dan menengok ke dalam mushalla kampus kami yang memang terbuka. Zaman mematung ketika pandangannya terpaut ke dalam mushalla. Sekarang ia berdiri tegak. Saat itulah aku menyusul lalu mengintip dari belakang badan tambunnya. Maka seketika sebaris kalamullah memantul-mantul di benakku,

Hai orang yang berselimut bangunlah untuk sembahyang di malam hari, kecuali sedikit daripadanya.

Zaman memandangku dengan alis terangkat. Sepertinya dalam pikirannya terlintas hal yang sama. Ia tersenyum dengan dengusan kecil. Sedangkan aku menghela nafas pendek. Ternyata___Bayangan dedemit yang membuatku merinding itu menguap seketika. Kami tersenyum dalam kelegaan yang bercampur dengan senyawa kagum terhadap lelaki berambut ikal di dalam Mushalla kampus itu. Sekarang ia tengah iktidal yang selanjutnya bersujud dalam ketenangan pagi. Seperti mutiara di dasar laut yang gelap, ibadah malam yang dilakukan lelaki itu tenggelam dalam ketenangannya yang berharga.

Aku jadi malu menyandang status anak LDK yang umumnya kata orang kuat akidahnya dan pantang takut dengan hal-hal mistis. Eh pada kenyataannya menangkap bayangan aneh saja aku langsung lari terbirit-birit. Memalukan dan tak akan kuulangi lagi. Tak akan. Cukup kali ini saja...tekadku. Air keran mengucur dalam kesucian pagi yang dingin. Aku dan Zaman meraup air wudhu dalam kesadaran yang sama bahwa kami kagum sekaligus terlecut dengan telak. Lelaki penjaga kampus saja menegakkan malamnya dengan shalat, lalu bagaimana dengan kami yang duduk di bangku kuliah dan sering berkoar tentang dakwah Islam? Masih nyenyakkah dalam selimut hangat dan pelukan bantal guling? 

Kejadian di malam itu menjadi rahasiaku dan Zaman. Sedangkan pagi harinya “si Dedemit” yang membuatku ketar-ketir di malam itu melenggang kangkung di depan sekretariat LDK ketika kami hendak pulang pagi harinya. Bahkan dengan baik hati ia menawarkan pada kami untuk minum kopi bersama di ruang tengah dan nonton berita pagi di televisi. Sejak itulah Zaman akan tersenyum geli padaku ketika lelaki asal Ngawi itu melintas―mungkin kalau kuijinkan tertawa, dia pasti akan ngakak sejadijadinya.
***

Kampus Hijau kami memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kampus swasta lain seperti UMY, UII, UST, UPN, UAD, dan kampus lainnya yang secara fisik menarik untuk diceritakan pada keluarga, tetangga, atau kerabat di kampung halaman. Kalau kampus-kampus itu seperti bunga-bunga kembang sepatu yang baru mekar, maka kampus kami adalah telur ulat bulu yang kebetulan nemplok di ujung daunnya. Jauh dari kata menarik untuk diperhatikan, karena anak kecil sekalipun tahu bunga lebih menarik dari pada daun, apa lagi telur ulat bulu di ujung daun. 

Namun, sebuah data sejarah kampus yang katanya outentik membuat kami cukup berbangga karena ternyata kampus kami adalah Kampus Ekonomi Islam pertama di Indonesia. Wow, pertama kali mendengarnya saja aku hampir tak percaya. Tapi para Dosen tetap, sesepuh kampus, karyawan kampus, sampai Mas Selamet pun bercerita dengan meyakinkan tentang itu. Jadi sampai sekarang aku bisa percaya 70% bahwa fakta yang membanggakan itu benar adanya, tapi 30%-nya harus dibuktikan langsung dengan mata kepalaku sendiri.

Nanti di sebuah Seminar Nasional Ekonomi Islam yang diadakan di MM UGM oleh FoSSEI5, salah satu pembicara menyampaikan materi dengan menayangkan sebuah slide show perkembangan Perguruan Tinggi (PT) yang membuka jurusan Ekonomi Islam di Indonesia. Walaupun si pembicara menyampaikan materi yang padat bin berwawasan, jujur saja aku tak fokus dan terkantuk-kantuk karena penyampaian materi justru seperti seorang kakek yang mendongengi cucunya agar tidur.
5 Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam.

Tapi kawan, entah pada menit keberapa mataku melotot melihat cuplikan slide yang mengobati keingintahuanku tentang data historis itu. Dari ribuan kampus di Indonesia, hampir seratus kampus lebih telah membuka jurusan Ekonomi Islam sejak orde baru runtuh hingga sekarang. Bahkan ketika kau membaca paragraf ini, mungkin Ekonomi Islam telah menjamur di sekitarmu dan telah menarik perhat ian sebagai sebuah lahan potensial yang akan mencerahkan ekonomi negeri ini. 

Sebagian buktinya di depan sana, dimana terpampang jelas daftar urutan nama PT Ekonomi Islam pertama di Indonesia. Sebuah nama Perguruan Tinggi di urutan kedua membuatku mesem-mesem penuh arti ke arah Huda yang duduk di sampingku.

Apaan? Kira-kira begitulah arti mimik wajah Huda. Kuacungkan dua jariku di hadapannya lalu melemparkan pandangan ke layar slide show jauh di depan sana. Kembali aku menoleh padanya dan menggerakkan alis penuh arti. Akhirnya 30%-ku itu terbayar. Kampus Hijau kami berada di Kecamatan Gondokusuman, Kelurahan Kota Baru. Jika dilirik di peta penyebaran Perguruan Tinggi Swasta di Kota Pelajar ini maka akan jelas kalau kampus kami berada tepat di tengah peta―pusat kota. Strategis dan mencolok dengan warna hijau pekat yang beradu dengan hijau daun muda. Tapi dengan ukuran bangunan yang tak tumbuh-tumbuh itu jelaslah kalau beberapa orang salah kaprah menilai kampus kami______
“Mas boleh tanya-tanya dulu?” begitulah pertanyaan itu tersampaikan. Ketika suatu kali Mas Selamet melayani seorang lelaki jangkung berambut klimis, berkemeja batik, dengan tas bahu di lengan kanannya. Mas Selamet yang sedang asyik bermain Spider Solitaire di komputer di FO (Front Office) langsung memasang senyum lebar. 

Dengan penuh sandiwara, tangan kirinya diam-diam menutup jendela games kesayangannya itu―Profesional, begitulah gayanya. “Oh silahkan-silahkan.” Ujar Mas Selamet ramah. Saat itu aku sedang membaca koran di meja tamu FO yang kosong sambil melirik ke arah si lelaki jangkung yang
menarik kursi lalu duduk menghadap meja FO.

“Ee...” beberapa detik berlalu cuma nada itu yang keluar dari si Lelaki Jangkung. Ia membuka brosur kampus yang bertumpuk di atas meja, membolakbaliknya dengan seksama sambil membaca baris-per baris keterangan di dalam benda hijau putih dengan design elegan itu. Mas Selamet yang memperhatikan gelagat kebingungan itu akhirnya tersenyum semakin lebar dan bertanya,  “Bagaimana Mas??”

“Eh ini...” Si Lelaki Jangkung mengangkat wajah dan memandang Mas Selamet dengan alis mengkerut, “Kalau mau mengajukan pembiayaan jaminannya apa ya?” Senyum Mas Selamet hilang.

“Eh...atau ada prosedur lainnya yang harus saya penuhi dulu?” Mas Selamet melirik ke arahku yang menahan tawa di balik koran, mengintipnya yang kembali tersenyum asem-asem kecut. Kututup koran dan pergi sambil nyengir-nyengir. Tak tahan kalau-kalau nanti tawaku meledak di sana.

Begitulah lelaki jangkung itu menganggap kampus kami BMT (Baitul Mal wa Tamwil) atau koperasi simpan pinjam Islami. Di kesempatan lain ada lagi yang menganggap kampus ini lembaga kursus, studio foto, bahkan parahnya seorang ibu-ibu hamil pernah dibopong masuk ke ruang FO! Oh my…mereka anggap tempat ini rumah bersalin apa?!

Maka atas usulan Mas Selamet yang hampir selalu siap siaga di FO dan berhadapan dengan masalah itu, maka plang identitas di depan kampus harus diperbesar. Kalau bisa pakai umbul-umbul iklan sekalian. Bahkan dengan pertimbangan matang penampilan teras depan kampus pun dirombak, dibuatlah balkon dengan dua pilar penyangga di bawahnya. Bahkan sebuah tulisan dengan susunan huruf balok-balok metalik bertengger di atasnya : STIS Yogyakarta.

Sejak saat itu siapapun yang salah kaprah dengan penampilan kampus kami sudah bisa menginjak rem sebelum masuk gerbang atau pintu FO. Mas Selamet jadi tak gelisah lagi menghadapi tamu-tamu nyasar lainnya. Maka karena itulah sekarang ia tersenyum manis sambil bermain Spider Solitaire. 

Siang itu kuliah sudah kosong dan aku hendak kembali ke kost untuk merebahkan badan. Aku keluar melalui FO bersama Zaman yang kebetulan hendak mengambil paket kiriman yang dititipkan Pak Pos pagi tadi. Mas Selamet mengeluarkan bingkisan itu dari bawah meja FO sambil berkelakar seolah-olah dirinya penyelundup sabu-sabu. Celingak-celinguk misterius. Lalu berbisik, “Sssst. Awas ketangkap petugas.” Candaannya dengan nada kocak.

Setelah kiriman itu berpindah di tangan, kami menyusuri ruang FO menuju pintu keluar. Kami berpamit pada Mas Selamet. Sembari berjalan Zaman lalu memasukkan benda itu ke dalam ranselnya. “Bingkisan dari rumah, Rif.” Jelas Zaman padaku. “Kupikir Bom!” ujarku.

Zaman tergelak. “Mungkin, Rif! Soalnya Ibuku tak mau cerita mau mengirim apa.” Zaman kembali tertawa pendek―Ibu? Ah, senangnya ada Ibu yang mengirimkan bingkisan...aku tersenyum dengan sebuah rasa yang tertahan. Rindu memiliki ibu. 

"Zaman, Syarif, tunggu sebentar...afwan, afwan.” sebuah suara lembut sedikit medok mencoba menghentikan langkah kami yang baru saja melangkah di teras depan kampus.

“Eh iya, Mbak...” Zaman yang sempat memperlambat langkahnya lebih dulu merespon, sementara sebuah SMS masuk ke ponselku. 

“Assalamu‟alaikum...afwan, Mbak cuma mau kasih undangan.” Zaman menjawab salam sedang aku disibukkan membuka SMS, ternyata dari Kak Fauzi. Zaman menarik-narik lengan bajuku membuat sadar kalau aku tak menjawab salam mahasiswi berjilbab abu-abu di hadapan kami. Kalau tak salah ingat ia panitia di Ospek kemarin. Panitia lainnya memanggilnya dengan panggilan Jihan, seorang pemandu salah satu kelompok Ospek angkatanku.

“Wa‟alaikumsalam, Mbak....” jawabku canggung sambil bersegera memasuki ponsel ke dalam kantong celana, pandanganku lalu melirik selembar kertas antik di tangan Zaman. Aku berpaling lagi pada Mbak Jihan. Ia menyodorkan benda yang sama padaku. Benda itu adalah selembar kertas unik yang dianyam dengan sangat menarik, dilipat dua dengan kancing yang mengunci antara kedua sisi lembaran, kubuka kancingnya dan melihat isinya___Sebuah undangan.

“Datang ya.” Lanjut Mbak Jihan. “Open House LDK Jamaah Fatahillah...”

“Insyaallah datang Mbak....” Jawab Zaman mantab.

“Iya, Mbak. Insyaallah datang.” Sambungku ikut-ikutan meyakinkan.

Mbak Jihan tersenyum diikuti anggukan pendek. “Iya, syukron. Alhamdulillah kalau begitu,” Sahutnya senang. “Kami tunggu semangatnya. Mari. Assalamu‟alaikum.” Mbak Jihan berbalik dan kembali memasuki ruang FO.

Begitu saja? Aku senyum-senyum sendiri.

“Kenapa?” tanya Zaman dengan nada remeh.

“Ah nggak....” bahuku terangkat remeh, “Mbak-nya lucu.” Lanjutku sambil menggerakkan tangan seolah memotong-motong angin dengan cepat. “Set! Set! Set!

Singkat, padat, jelasss!.”

Zaman geleng-geleng kepala. Tampaknya merasa aneh dengan gayaku yang terlalu senang mengamati orang. Sampai di halaman yang tak jauh dari parkiran kami berpisah. Zaman menuju motornya sedangkan aku melangkah keluar kampus melalui gerbang samping, langsung menuju Jalan Abu Bakar Ali. 

Kurogoh saku kemejaku, kubuka lagi undangan unik berkancing tadi.

To Akh Raihan Syarif Di Bumi Allah,

Akh Syarif, sapaan yang tak biasa dengan tambahan “Akh” di depan nama si penerima surat. Aku menggumal bibir, jadi ingat kakak-kakak rohis di SMA dulu yang juga senang menggunakan tambahan panggilan itu. Kuterawang pikiran mengingat jadwal kuliah yang sudah kusalin di buku catatan. Tampaknya saat jam undangan Open House berlangsung besok, angkatanku sedang tak ada jadwal kuliah. Aku menimbang-nimbang untuk hadir atau tidak dalam undangan itu___

Dulu ketika SMA aku pernah bergabung dengan Rohis, kegiatannya hanya pengajian, kultum, Pesantren Kilat. Nah, ini lagi ada undangan gabung dengan LDK yang sepertinya tak jauh beda dengan Rohis. Jujur saja, sebenarnya aku sedikit jenuh dengan itu semua. Apa lagi beberapa teman lulusan Pondok Pesantren yang sudah merasakan pahit-manisnya kitab gundul dan kedisiplinan ala pondok. Nah jadi maklumlah kalau sebagian besar teman-temanku yang berasal dari pondok kemarin di Ospek tak tertarik daftar di LDK. Apa lagi aku yang lulusan SMA.

Tapi, melihat semangat Zaman tadi dan isi SMS Kak Fauzi yang juga berisi undangan yang sama, kubulatkan niatku. Sulit mencari celah untuk menolak ajakan seniorku yang satu itu. Kemarin di awal Mentoring kami sebuah kalimatnya terucap dan membuat tutur kata-perkata itu menempel kuat di ingatanku, “Sangatlah lucu ketika seseorang mengajak kita mengetuk pintu surga tapi kita justru memutuskan berlari menjauhinya. Padahal bisa jadi apa yang kita sukai itu belum tentu baik bagi kita, dan yang kita benci itu belum tentu buruk bagi kita...”

Yah, mungkin saja ada hal baru di LDK. Tak masalah dicoba...Batinku.
***

EMBUN:
“Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam yang sempit, apa yang belum
engkau dapatkan pada saat siang yang lapang. Dan kalian tidak mengetahui mana
yang lebih dekat manfaatnya bagi kalian.”
(Ibn „Atha‟illah as-Sakandari; Al Hikam)
Mungkin seorang hamba mendapatkan karunia berupa ilmu makrifat pada saat
kesedihan (kegelapan) datang menerpanya. Dimana hal itu belum tentu akan hamba
temui pada saat nikmat kesenangan melingkupinya. Dan dalam hal ini, seorang hamba
tidak menyadari akan posisi mana yang lebih membawanya untuk mendapatkan
manfaat





KISAH SELANJUTNYA

4 komentar

wah cerita bersambungnya sudah sampai episode 5 ya mas yg diterbitkan di blog ini.
kudu baca mulai awal nih biar bisa mengikutijalan ceritanya

^_^

hehe iya mas Yanto...cuma cerbung religi buat membiasakan nulis. Mari diikuti. Hari ini update yang ke 6, kejar setoran hehe. Terima kasih sudah mampir ms Yanto...

Ini cerita fiksi atau real mas ya ?
Tapi, nggak peduli fiksi atau real yang penting makna dibalik kisahnya

Ini fiksi, mari diikuti cerbungnya. Beberapa terinspirasi dari kisah nyata juga sih hehehe... ^_^ mencoba menitipkan pesan via kisah, semoga bisa ya...amiin

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris