”Kenapa tertawa?!” dia kesal mendengar tawa para pemuda dihadapannya. Apa lagi seorang pemuda yang duduk di gundukan tertinggi. Dia terlihat lebih konyol dari yang lainnya. ”Eh Edom! Kamu jangan cari masalah!”
”Siapa yang cari masalah! Kalau Bapakmu prajurit anaknya juga pasti berani. Tidak pengecut seperti kamu!” tawa itu kembali pecah.
Sebentar kemudian wajah anak-anak suku pedalaman Irian itu terlihat membesar dan suara tawa mereka semakin membuat anak berambut keriting lebat itu pusing. Dunia seperti berputar, anak itu berteriak kesal, suaranya menggema diantara lembah dan menyusuri padang rumput Irian Jaya yang panas, kemudian kembali dengan cepat tersedot dalam pusaran hitam yang masuk ke dalam pandangannya____
”Oi Andos! Andos!”
”Uwah...!” Teriak Andos, keringatnya membasahi tubuh membuat tumpukan daun kering dan rerantingan kecil menempel di tubuh kurusnya.
”Kamu mimpi apa?” anak yang sebaya dengannya itu mengoyang-goyangkan tubuhnya. Andos tidak menjawab, dia mulai sadar, nafasnya panas. Dia tahu sejak berangkat tadi tubuhnya sudah terlalu letih. Dia sakit.
Satu hari ini mereka berdua menembus hutan. Tepatnya sejak matahari mulai merambati ranting-ranting pohon di pemukiman suku Meno.
Sekarang matahari sudah tenggelam, hutan hujan tropis itu diselimuti gelap. Tak ada cahaya kecuali api yang menghangatkan Andos dan Rome. Karena letih dan lapar mereka beristirahat di bawah lubang pohon besar, yang bagi mereka sangat agung. Api yang mereka buat dari percikan batu api membakar ranting-ranting kering yang tadi mereka kumpulkan sebelum tidur. Sisa tulang hewan tangkapan yang mereka makan masih tercecer tidak jauh dari tempat mereka tidur.
”Aku mimpi Rome...Mimpi Bapakku diolok-olok mereka.”
”Edom lagi?” Rome mencoba menebak, Andos mengangguk. ”Ah kamu itu. Kamu percaya saja lah kalau Bapakmu itu benar-benar prajurit. Bukankah Ibumu dan Ibuku juga sering cerita tentangnya. Jangan dengarkan olok-olokan Edom dia Cuma iri padamu. Sudahlah, kamu tidur saja lagi.” Rome meyakinkan pemuda yang duduk bengong di hadapannya. Lalu kembali berbaring sambil bergumam tidak jelas. Tidurnya terganggu oleh Andos yang sekarang sudah sulit memejamkan mata.
Suara jangkrik dan hewan malam memenuhi hutan. Mata Andos menyisir tiap semak belukar, pepohonan, dan ranting-ranting. Gelap. Pekat.
Talinganya sigap menangkap tiap gemerisik daun dan riuk ranting, dia menelan ludah. “…pengecut seperti kamu.” Suara Edom berdengung di telinganya. Tapi kenyataan memang benar, saat itu Andos ketakutan berada di hutan di malam seperti itu. Dihempaskan tubuhnya ke samping Rome, membuat temannya itu terbangun dengan kesal.
”Kamu itu! Sudah tidur! Jangan ribut-ribut!” pemuda kecil itu kembali berbaring, dia menggerutu kesal. Sedangkan Andos tetap sulit memejamkan mata, semalam suntuk itu matanya terjaga dan tubuh hitamnya berkeringat karena takut kalau-kalau Enggros datang dan memangsa mereka.
Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^
Terima Kasih
Halama Haris