badge

Rabu, 16 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [ 4 ]



" Dedemit Kampus Hijau "
(Part 1)




KISAH SEBELUMNYA



Memutuskan untuk studi di Yogyakarta bukanlah keputusan mudah bagi remaja SMA dengan survival ekonomi menengah yang terjun bebas sepertiku. Apa lagi berada di sini dengan bantuan biaya sekolah dari orang yang hatinya terang cukup membuatku bertekad untuk tidak mengecewakan mereka. Setidaknya di awal aku akan banyak-banyak memanjatkan syukur sebelum nanti berhasil mewujudkan cita-citaku. Seperti kata Simbah Putri, “Orang yang bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Gusti Allah...” dan aku sangat yakin dengan itu. Bukan karena itu ucapan Simbah Putri, tapi karena itu juga janji Allah dalam kitab-Nya. Benar kan kawan?

Di sini, di Yogyakarta. Tempat terjauh yang dapat dijangkau oleh kakiku saat ini. Meninggalkan Darwisy Ihsan1 ketika lulus SMA dulu sudah cukup membuat gulana di dalam hati. Pertanyaan dan kegamangan bertubi-tubi mengeroyok pikiranku, membutku lelah merutuki diri dalam kehawatiran akan sepi di bumi orang ini. 

Tak ada orang yang kukenal, sekarang aku berdiri sendiri setelah dulu di Panti beramai-ramai menikmati hidup bersama anak-anak lainnya. Sebenarnya ada bimbang yang ingin kuadukan pada pengelola panti, khususnya Simbah Putri. Walaupun bersekolah lebih tinggi adalah bagian dari rencana hidupku, tapi aku tak pernah menyangka kalau Simbah Putri mengabulkannya begitu cepat.

Langsung setelah kelulusan SMA-ku. Padahal di Panti aku punya kawan bernama Gilang yang bercita-cita sama sejak kami bersama-sama lulus Sekolah Dasar di Mojoroto dulu. Bahkan bisa dikatakan, semangat belajarnya lebih hebat dibandingkan diriku. Namun bagaimanapun, kami hanyalah anak panti yang seharusnya mematuhi 1 Panti Asuhan milik keluarga Simbah Putri di kelurahan Campurejo-di Mojoroto, Kediri.

Keputusan panti untuk kebaikan bersama. Mungkin suatu saat aku akan tahu jawabannya. Sekarang, tugasku bukanlah menerbitkan kekecewaan dan sibuk dalam kegamangan itu. Karena jasad, jiwa, dan akalku sudah berada di bumi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini. 

Di sebuah tempat dengan bangunan yang mencolok dan strategis di tengah Kota Yogyakarta. Bangunan yang berdiri tegar di atas lahan perkotaan inilah tempatku mengais ilmu. Kami menyebutnya Kampus Hijau sedangkan Kopertais mencatatnya dalam nama yang tertera jelas di atas papan metalik bertuliskan: STIS Yogyakarta. 

Di tempat inilah aku menyandang status mahasiswa Ekonomi Islam. Halaman depan kampus kami dikelilingi pepohonan rimbun yang berjajar-jajar bak makhluk angker di tepi tembok pagar kampus. Diantaranya di sebelah selatan berderet dua pohon Mahoni muda berusia 6 tahun dengan tampilannya yang kokoh, kulit batangnya berwarna abu-abu halus lembab karena musim penghujan dua bulan terakhir, beberapa tunas dedaunannya pun mulai tumbuh lebat di tengah musim ini. Lalu di sudut tenggara pohon Felamboyan bagai dua saudara kembar berlomba tinggi dengan ukuran tinggi kira-kira 9-11 meter, tumbuhan cemerlang ini berdahan banyak dan sedikit menjorok ke terotoar jalan seperti payung. 

Jarak pohon-pohon penghijau itu berselang empat meter dengan pohon lainnya di halaman kampus kami. Maka layaklah kampus ini kami sebut Kampus Hijau, karena walau di pusat kota Kampus ini masihlah mengambil peran untuk membersihkan polusi udara dengan empat pohon anti polutan itu. Namun diluar soal polusi, di sudut barat laut ada sebuah pohon penyendiri yang berdiri tegak dan akrab dengan mahasiswa. Letaknya tepat berada satu setengah meter 2 Sekolah Tinggi Ilmu Syariah di depan sekretariat BEM Kampus Hijau. Pohon muda berdaun lebar ini menjulang dengan buah-buah tuanya yang seketika dapat meluncur jatuh, menimpa batok kepala orang yang karena suratan takdir berdiri ikhlas dibawahnya. Jika itu terjadi makamahasiswa-mahasiswa yang duduk di kursi panjang depan sekretariat BEM akanterpingkal-pingkal menertawakan nasib si pemilik kepala.

Tapi bagaimanapun mengancamnya pohon penyendiri ini tetaplah satu-satunya pohon rindang yang paling akrab dengan mahasiswa. Bahkan telah setia menjadi saksi turun-temurun bergantinya kepengurusan BEM Kampus Hijau kami. Cobalah lihat di kulit pohonnya, beberapa orang mengabadikan memori hidupnya untuk dikenang di kampus ini, entah itu berupa ukiran nama, tanggal beserta inisial sebuah nama, momen monumental, atau mungkin tulisan-tulisan tak jelas lainnya.

Semua itu membuat si pohon tampak seperti pohon di film-film romantika yang berkali-kali dipakai syuting, bertato janji gombal di sana-sini.

Ah, membicarakan kesan yang diukir pohon ini membuatku lupa mengenalkan ini pohon jenis apa. Dikampus kami berbagai macam nama dimilikinya, misalnya Bram teman seangkatanku dari Papua Barat menyebutnya Kris, Aria yang dengan dialek Maluku Utaranya menyebutnya Ngusu, sedangkan Mbak Farida yang berasal dari Nias menyebutnya katafa, namun hebatnya di Kalimantan sana___di delta sungai Pawan namanya justru telah menjadi nama Ibukota Kabupaten___Ketapang, seperti itu pula namanya familiar di telinga kita.

Pengamatan tentang pohon itulah yang berkeliaran dalam pikiranku di pagi selengang ini. Aku duduk membisu di kursi panjang sekretariat BEM Kampus Hijau, memunggungi ruang milik orang-orang eksekutif kampus yang masih tertutup rapat dan terkunci itu. Entah sudah berapa kali sejak perkuliahan awal dulu, nuansa ini membuat  pagiku di tempat ini selalu terasa asri dan menyegarkan pikiran. Selain karena lalu lalang Jalan Abu Bakar Ali yang masih lengang, lapangan parkir yang memanjang ke timur itu belum dijejali oleh kendaraan mahasiswa dan dosen.

Aku menengok jam dinding di dalam sekretariat BEM, masih pukul tujuh kurang sepuluh menit. Datang sepagi ini memang bukan kebiasaan pemuda-pemudi berstatus mahasiswa, tapi jadwal kuliah pukul delapan cukup membuat seorang mahasiswa semester awal sepertiku giat datang pagi dengan terpaksa, seperti bawaan masa SMA yang takut kena sanksi kalau terlambat datang. Tapi sekarang bukan karena  sanksi, melainkan tugas kelompok yang harus dipresentasikan di dalam kelas pagi ini. Kelompokku harus berkumpul dulu untuk menyusun strategi tempur di dalam  kelas nanti. 

Karena terbukti tiga kali pertemuan sebelumnya dua kelompok telah dibantai dengan semangat oleh teman-teman seangkatanku yang keritis dan gatal mengejar nilai, maklumlah Dosen Ushul Fiqih kami memberikan 60% nilai dari kemampuan menyampaikan isi pikirannya di dalam forum—“Walaupun salah tak  masalah, kan masih belajar!” begitu ucap Dosen kami suatu waktu di tengah kuliah.
 
Otomatislah ucapannya itu memunculkan orang-orang berkarakter tong kosong berbunyi nyaring di dalam kelas. Tak jarang mereka berbicara menuju jalan buntu atau paling tidak menggantung di langit-langit pikiran, sehingga itu membuat pusing pendengar sekalian. Namun tidak dipungkiri dibalik karang-karang selalu ada kerang  mutiara yang berkilau wawasan baru.

Bahkan salah seorang diantaranya bersedia menjadi kawan sekaligus guru rahasiaku di semester-semester berikutnya. Maklumlah kawan, orang berilmu tanggung sepertiku harus selalu berada di samping salah seorang manusia berotak cemerlang agar keciprat rahasia ilmu mereka. Fotokopian di tanganku menarik perhatian. Empat lembar fotokopian ini hasil rembug dan kerja sama kelompok kami selama satu pekan. Kubolak-balik tugas kelompok itu yang sejak kemarin dibagikan oleh ketua kelompok untuk dipelajari seksama. Kutelaah beberapa baris definisi, berlanjut pada satu paragraf dalil, dan berikutnya contoh-contoh penarikan hukum terkait tema yang kami dapatkan dari Dosen.

TRESK!

Seorang lelaki berkulit putih dan berambut ikal tiba-tiba keluar dari pintu samping yang berukuran lebar sama dengan panjang sebuah mobil Kijang. Lelaki itu menenteng sapu lidi bertangkai di tangan kirinya dan satu kantong pelastik putih penuh sampah di tangan kanannya. Tanpa menangkap bayanganku ia melangkah santai memunggungiku menuju timur kampus sambil bersiul. Kantong sampah di tangannya dibuang di sudut kampus dekat pintu gerbang sebelah timur, disanalah tempat pembuangan sampah utama berada. Setiap dua hari sekali pada pukul 10 pagi Pasukan Kuning akan datang mengangkutnya. Lelaki berambut ikal itu kembali menuju pintu samping yang berjarak tiga meter dari sekretariat BEM kampus

Bersenandung menyanyikan sebuah lagu nasional yang menarik perhatian. Dengan perut buncitnya yang tanggung membuat langkahlangkahnya terlihat lucu saat itu.  Kaos putih ketat bertulis “Anomaly Sight” dan celana olahraga mengesankan dirinya seperti instruktur senam Jumat pagi yang siap berhitung satu-dua-satu-dua-satu-dua.

“Rajin bener pagi-pagi sudah nungguin kampus...” ucapnya sambil terkekeh dengan wajah ceria ketika sampai didepan gerbang.

Aku menerawang pikiran, mengingat-ingat siapa namanya. Setidaknya sebuah  huruf konsonan „S, vokal „A, dan akhiran berupa konsonan „T terlintas di pikiran.
Tapi tetap saja tak ada nama yang muncul. Justru yang terlintas cuma satu sebutan dari lisanku,  “Eh...Mas...”
Begitulah, kata „Mas seperti ampuh untuk menghilangkan kecanggungan karena tak tau nama lawan bicara. “Mau ada presentasi kelompok, Mas....” jawabku sambil cengar-cengir. 

“Masuk di dalam aja. Tuh sambil bikin kopi sama nonton TV....” Alisku mengernyit aneh membuat lelaki ikal itu justru tertawa, “Yaelaaah...serius lho!” lanjutnya dengan wajah jenaka yang terkesan mengembang bak kue bolu. Ramah dan  hangat.

“Ayo!” ulangnya sekali lagi.
Tawaran meyakinkan dan tak ada alasan untuk menolak. Dalam hitungan detik aku sudah mengekor masuk menuju ruang tengah melalui pintu samping. Tapi bagaimanapun aku tak biasa minum kopi, maka jadilah aku cuma duduk-duduk saja di ruang tengah, mengobrol kecil-kecilan dengan lelaki berambut ikal yang menyalakan televisi dengan remote lalu mulai menggosok beberapa gelas kaca yang baru saja dibawanya dari wastafel pencucian. Ini lebih baik daripada aku duduk sendiri di bawah pohon ketapang di luar sana dan disangka jin penunggu pohon.
 
Lelaki berambut ikal itu familiar dipanggil Selamet, padahal nama lengkapnya Selamet Efendy. Sempat bertanya mengapa tidak dipanggil  Efendy―Fendy―Endy―atau  Ipen saja, bukankah lebih trendy terdengar. Tapi ternyata  jawabannya adalah karena ayahnya-lah yang senang memanggilnya dengan nama depan itu. Sebagai bentuk bakti dan takzimnya pada sang ayah, maka panggilan Selamet menjadi nama paling hebat baginya di dunia.

Namun, aku masih dibuat bingung dengan status lelaki asal Ngawi ini. Di Kampus Hijau ia bekerja sebagai apa? Itu pertanyaan sederhananya. Karena terkadang ia membersihkan seluruh kampus di pagi buta layaknya seorang Office Boy, tapi mengherankan sekali ketika jam kerja ia berseragam lalu duduk bertugas melayani di Front Office. Sering pula setiap malam ia mencuci segala perkakas makan-minum sebelum istirahat, lalu mengejutkan ketika paginya ia berangkat dengan mobil kampus sebagai presentator ke sekolah-sekolah bidikan marketing kampus. Bahkan dialah driver-nya____

Aku merasa Kampus Hijau jadi seperti rumah Mas Selamet sendiri. Lihat saja bagaimana dengan murah hati ia mengajakku minum kopi sambil nonton TV di ruang tengah. Bahkan di situasi lainnya yaitu di ahad pagi, Mas Selamet biasanya akan berganti kostum olahraga, melakukan pemanasan sebentar didepan sekretariat UKM lalu mulai joging keliling lapangan kampus yang luasnya tiga kali lapangan badminton. 

Ada pula yang lain, ketika ia bosan dan malas tidur di kamarnya yang sempit itu, ia bisa bebas tengkurep, terlentang, atau mengkerut sambil mendengkur dimana saja yang menurutnya nyaman. Entah itu di mushalla kampus, di ruang tengah, di Front Office, di Perpustakaan, atau bahkan di ruang akademik kampus. Dengan segala tingkahnya Mas Selamet sudah menjadi salah satu simbol keunikan di Kampus Hijauku.

Mari kuceritakan yang lainnya tentang keunikan itu. Di suatu malam, karena sebuah amanah di kepanitiaan LDK aku dan Zaman memutuskan menginap di kesekretarian. Kami terlelap pukul dua belas malam ketika kampus mulai serasa seperti kuburan, sepi dan gelap di beberapa sudutnya.

Saat itu di pangkal pagi tiba-tiba aku terjaga karena mimpi aneh, didalam mimpi  itu kamar kostku dimasuki ular boa hitam lurik-lurik. Melilit kursi belajarku dan hampir menyerangku. Menurut tafsir yang kutahu, bermimpi ular berarti sebuah permusuhan oleh  sesorang. 
Kutengok jam dinding di ruang sekretariat. Ternyata baru pukul setengah tiga pagi. Aku berusaha kembali tidur namun ternyata tak bisa. Tiga-empat-lima menit lewat mataku  masih kesulitan untuk terpejam lagi. Astaghfirullah, mungkin karena mimpi itu. Batinku. Aku duduk sebentar. Menerawang langit-langit sekeretariatan LDK. Menengok Zaman yang mendengkur hebat. Aku menggumal bibir karena tenggelam sesaat dalam pikiran yang membuatku menghela nafas. Aku segera bangkit dan keluar sekretariat LDK.

Ambil air wudhu! begitu batinku.  Di luar udara dingin menggigit. Suara titikan air di wastafel terdengar jelas karena suasana sehening gua. Aku merasa ini seperti di film-film triller dimana tokoh antagonisnya semacam Freedy yang seketika bisa membuat jantung penonton terpantul-pantul.

Aku melangkah enteng menyusuri koridor pendek menuju tempat wudhu di Mushalla Al Falah. Kampus Hijau benar-benar terasa sesepi kuburan kalau malam. Padahal di depan sana Jalan Abu Bakar Ali yang lebar memanjang ke barat menuju Malioboro, tapi tetap saja tak terdengar ada suara orang ataupun kendaraan―benarbenar suasana yang mati.
Ini pasti masih mimpi, anganku melayang aneh. Lagi-lagi bayangan film Nightmare on Elm Street muncul. Bayangan Freedy Krueger mungkin saja muncul  dibelakangku. Mengelus punggungku dengan cakar siletnya. Rrrrr...aku geleng-geleng dan senyum sendiri dengan pikiran anehku itu. Dasar film!

Sambil membuka keran wudhu aku menoleh ke arah mushalla――Ketika itulah aku tercengang melihat sesuatu di dalam Mushalla yang gelap tak berlampu. Sosok menakutkan itu berdiri di bawah gelap remang-remang. Makhluk hitam kelam dengan tubuh yang tegap itu tak bergeming. Seolah-olah aku inilah objek pengamatannya. Beberapa kali terdengar suara desisan menakutkan yang tertuju padaku. ULAR!?


BERSAMBUNG ...


KISAH SELANJUTNYA

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris