badge

Senin, 14 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [ 3 ]

Chapter 2 
 Lingkaran Cahaya
 
https://cdn.kisahmuslim.com/wp-content/uploads/2013/05/sejarah-islam-india.png




KISAH SEBELUMNYA




Ketika dahulu Islam mulai terbit di Jazirah Arab jahiliyah, ia hadir bagai kereta cahaya yang menyusuri jalan-jalan gelap keyakinan manusia. Menyambangi setiap hati yang tersimpan di bawah bayang-bayang kekufuran. Menawarkan tumpangan pada si pemilik hati untuk berangkat bersama menuju perhentian di sisi Allah Azza wa Jalla.

Namun di dalam lembaran awal sejarah itu setiap mata telah mengintai Islam bagai berburu kelinci di balik belukar, menyikapinya seumpama penyakit lepra kronis ditengah kabilah, dan menjadikannya musuh dalam selimut yang harus dihadapi setiap saat.

Maka sejak saat itulah manusia-manusia yang dirasuki hatinya oleh thagut mulai menandatangani kontrak permusuhan turun temurun. Pada akhirnya keimanan pun bersembunyi di dalam ceruk hati yang terdalam. Tersimpan sebagai rahasia pribadi yang tabu diketahui oleh siapapun.
 
Demikianlah sejarah mengabadikan dilema batin umat ini ketika jumlah persona barulah seperhitungan jari tangan. Namun disini pulalah kebangkitan itu dimulai. Dalam keterbatasan gerak madrasah ilmu telah berdiri di bawah asuhan Seorang Murabbi pertama. Mengucurkan keimanan langsung dari cawan Ilmu dan ketauladanan, berkhidmat pada Nubuwah Kenabian yang diturunkan pada sang Nabi sendiri―Muhammad Al-Amin. Demikianlah penawar bagi ujian yang meneror setiap batin perindu Allah di saat itu, sebuah titik awal pewarisan dakwah Islam yang mengalir hingga kini, dan sekarang bermuara dalam lingkaran halaqoh kami.
“Tidak hanya mengikat ukhuwah,” ucap Kak Fauzi di tengah materi.
“Dalam pertemuan itu Rasulullah Salallahu alaihi wasallam membentuk karakter para sahabat dalam ketauhidan yang kuat. Karena dari tangan para sahabat inilah Islam pada akhirnya nanti mulai tersebar di Kota Mekkah. Mereka menjadi contoh utama kesuksesan di masa awal keislaman, karena itulah mereka kita kenal sebagai As-Sabiqun al-Awwalun…” Kak Fauzi mengangguk pendek mencoba menangkap keseriusan kami, pikirannya telah fokus sehingga kelelahan mengayuh sepeda di bawah hujan tadi seperti menguap dari wajahnya.
 
“Itulah sebutan untuk para sahabat yang masuk Islam pertama kali....” Lanjutnya, “Apa yang dilakukan Rasulullah di masa awal keislaman adalah sebuah tarbiyah karakter. Para generasi awal itu terbentuk dalam interaksi yang rutin di sebuah rumah milik salah seorang sahabat di bukit Shafa. Sahabat itu salah seorang As-Sabiqun al-Awwalun, ada yang tahu siapa?” tanya Kak Fauzi seperti menguji pengetahuan kami.
Aku menggumal bibir mencoba membuka arsip pengetahuanku, mengingat-ingat sesuatu di dalam otak yang memang jarang terisi dengan informasi, didalamnya hanya gelap yang sempurna. Kulihat Aria menoleh ke kanan dan kiri dalam tempo berselang lima detik, mencoba bertingkah seolah-olah punya jawaban, tapi dengan murah hati ia memberi kesempatan yang lain untuk menjawab. 
Sedangkan Zaman menampakkan wajah ketegasan seorang observer yang menyimpan hipotesis sempurna. Tampak percaya diri dengan jawaban yang sudah mengkristal di dalam pikiran. Ia menggigit bibir, terdiam sejenak, lalu dengan mantab____menggeleng tegas.  
“Nggak tahu, Kak....” sungguh ucap yang jujur.
Lalu yang menarik tapi ganjil adalah Huda, ia terlihat akan menjawab sesuatu. Tapi gelagat tubuh dan keinginan untuk menjawab tidak selaras. Lihat saja pandangannya yang seumpama jendela pengetahuan itu, terkesan berisi jawaban dengan bibirnya yang bergumam sendiri. Tapi keduanya sempurna terkunci oleh jiwa yang mericuhi dari dalam jasad. 
Ngomong―jangan―ngomong―jangan―ngomong―jangan―ngomong―,
 
demikianlah terjemahan dari garis di sekitar alisnya itu. “Huda…” Lelaki tirus pemandu Mentoring kami akhirnya menjorongkan pandangan, memergoki gelagat Huda.
 
“Mhmm, Itu…Al-Arqom bin Abi Al-Arqom al-Qurasyi Al-Makhzumi,” pemuda bermata sipit disampingku berucap dengan canggung, aku melongo. Panjang banget namanya. Batinku. 
“Ee dia seorang pengusaha berpengaruh dari suku Makhzum di Mekkah.” Mendengar itu Kak Fauzi tersenyum. Aku juga, hampir tertawa bahkan. Al Arqam nama yang dulu pernah kuingat ketika kakak kelas SMA menyampaikan materi sejenis dalam Mentoring Agama Islam di Rohis, waktu itu dengan ikhtiar hebat kuingat-ingat namun tak lama kembali lenyap. Menguap di udara. Kosong seperti sekarang.

“Betul!” ujar Kak Fauzi, “Karena rumah itu milik sahabat bernama Al Arqam maka dulunya tempat itu dikenal dengan Dar al-Arqom yang berarti Rumah Al-Arqom, lalu setelah dia memeluk Agama Islam bergantilah tempat itu menjadi Dar al-Islam yang berarti Rumah Islam. Di rumah Al Arqom itu Nabi Muhammad Salallahu‟alaihi wasallam membangun metode pengokohan tarbiyah yang selanjutnya membentuk generasi-generasi Islam berkarakter dalam ketakwaan di awal kedatangan Islam.

Didalam pertemuan itulah diajarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai petunjuk lurus memandang hidup.” Kak Fauzi diam____
 
“Seperti itu yang coba kita amalkan sejak awal semester sampai sekarang. Kita berkumpul di sini untuk mempelajari Al Qur‟an dan Al Hadist. Kita bersama-sama menguatkan Iman yang memang___terkadang naik dan terkadang turun. 
Semoga saja kita dapat mengikuti jejak As-Sabiqun al-Awwalun, sehingga karakter ketakwaan yang kuat dan istiqomah itu terbentuk dalam diri kita. Kita cuma bisa berharap dengan hal itu sehingga pada akhirnya nanti Allah ijinkan kita kembali berkumpul di surga-Nya, bersama-sama seperti ini lagi....” pancaran harapan tercurah dalam senyum Kak Fauzi, bayangan kampung akhirat itu terlukis dalam sorot matanya. 
Ia lalu memandang ke arah Zaman dan tersenyum, “Saya membayangkan bagaimana nanti Zaman duduk di bawah pohon surga sambil memanggil-manggil."Akh Fauzi! Kumpul di sini, kita mau nostalgia nih. Bagi-bagi cerita dan kabar___” Zaman menggumal senyum, “Lalu dari arah yang lain Syarif datang sambil membawa cawan surga berisi minuman yang manis lagi tak terlupakan rasanya untuk kita teguk bersama.” Sekarang giliranku yang tertegun, jiwaku seperti disiram oleh air es ketika tengah kering dan hampa. Sungguh itu imaji yang terlalu mulia untuk dilakukan orang berlumur kelalaian sepertiku.

Tapi bagaimanapun imaji itu telah membuatku merasakan benang-benang halus di hati ini bergetar menimbulkan bunyi, Amiin....Amiin ya robbal alamiin...Amiin yaa Allah. Dalam batas kesanggupanku getaran itu berbisik dari bibirku. Sungguh, siapa yang tak ingin berada di kampung akhirat itu. Aku ingin masuk dan menetap di dalamnya____selamanya.

“Sementara Aria...” Lanjut Kak Fauzi membuyarkan getaran itu, “...memetik bermacam buah-buahan surga untuk kita nikmati bersama sambil memuji Allah. Sedangkan Huda lalu meramaikan surga dengan lantunan merdu Al Qur‟an yang terdengar sampai ke dalam hati kita. 
Setelah itu kita lalu bercerita banyak hal tentang dunia dan apa yang kita lakukan bersama di atasnya, kita akhirnya puas tersenyum dan menangis bahagia. Karena di Surga-Nya kita akhirnya berkumpul kembali. Lalu seorang lelaki agung datang, wajah bercahayanya membuat kita tersenyum dengan senyum terikhlas yang pernah ada. Bayangkan seandainya ketika itu Rasulullah Muhammad Salallahu‟alaihiwasallam bersedia berkumpul dengan kita....”

Hujan deras berhenti seketika. Bulan yang bersembunyi di balik malam berubah purnama. Cahayanya tiba-tiba telah mengalahkan matahari. Langit menjadi biru bersih. Angin pun bertiup sejuk. Mengalirkan sebuah lecutan sejuk yang menyelusup dengan seksama ke dalam jiwaku. Alam melontarkan tahlil, tasbih, tahmid,dan takbir menuju langit, menggaung terpantul-pantul di telingaku. Ramai riuh dikelilingi malaikatmalaikat takwa―Imajinasi―Aku menelan ludah dan memandang gamang keluar Mushalla.
 
Ternyata hujan masih deras di luar sana.
 
Ah, nuansa telah menghentak jiwaku dalam imaji. Jendela visi itulah yang terngiang di benakku setiap kali Kak Fauzi Alamsyah menyampaikan materi. Aku melihat bagaimana lelaki patron itu memberikan setitik embun pada hati-hati yang sempat kering. Wajah-wajah di sekitarku telah menjabarkan rasa itu. 

Sebuah tekad untuk terus bersama dalam Iman pun muncul. Ia duduk takzim bersama kami dalam bayangan mulazamah para ulama-ulama perindu surga. Maka di malam itu cerita cinta tentang surga yang sejak dulu ada di dalam halaqoh Dar Al-Islam diwariskan di sini. Satu-persatu kupandangi mereka semua yang berada di dalam lingkaran ini. 

Alhamdulillah, begitu syukur kubisikkan karena Allah mengizinkanku mengenal mereka. Nantinya aku tidak menyesal mengenal mereka, karena sungguh bagiku hati selalu menjadi terang ketika bisa berkumpul dengan mereka untuk berbicara tentang takwa dan surga.

Malam itu lingkaran kami usai, tak hanya dalam catatan-catatan materi tertulis tapi juga dalam kesan yang berbekas. Kami mengakhirinya bersama janji pertemuan yang akan lunas di waktu-waktu berikutnya. Aku memang bukan peramal tapi aku tahu kalau lingkaran ini nanti akan memberiku banyak cerita. Seperti cerita ini, lelaki tirus yang tengah mengenakan mantel hujan itulah yang memulai ceritanya. Di bawah gerimis tipis lelaki itu kembali mengayuh sepedanya. Ia berpamit pada kami dengan salam keselamatan.
***
Bersambung ....

 


EMBUN :

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
 
(QS. Ali Imron: 103)



KISAH SELANJUTNYA

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris