badge

Sabtu, 12 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [ 2 ]


Lima Lelaki dan Hujan
 (Part 2)



KISAH SEBELUMNYA


Bayangannya menjadi tak asing bagiku, melaju menuju parkiran di dekat ruang Lab Mini Bank. Walaupun samar tapi jelas aku mengenali lelaki patron itu. 

Di bawah atap parkiran yang sempit lelaki itu membuka mantel hujan cokelatnya. Meletakkan benda itu di atas sepeda balap hitam lalu menurunkan lipatan celana setinggi lututnya. Tangannya menyeka rembesan air di lengan dan wajah tirusnya. Setelah itu ia bersisir sepuluh jari, merapikan rambutnya yang acak karena jas hujan.

“Kak Fauzi, Ar!” ujarku. Aria yang juga menyadari hal itu sudah duduk dan menoleh ke arah parkiran.

“Zam! Bangun!” Huda berbalik dan berusaha membangunkan Zaman. Pemuda tambun itu melenguh malas tapi berusaha untuk sepenuhnya sadar. 

Pekerjaan menunggu kami terbayar sudah, semangat di dalam dada Huda tersengat hingga senyum di wajahnya mengembang. 

Begitu juga yang kulihat di wajah Aria. Kemerdekaan seperti menjelma dalam air mukanya yang kembali cerah. Sungguh ini menjadi fenomena dalam interaksi sosial. 

Sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa persekutuan, perkumpulan, atau komunitas dalam hidup merupakan sebuah ikatan yang timbul tidak semata-mata karena kepentingan.

Memang, pada awalnya kepentingan itulah stimulus utama yang mengundang kami. Nilai semester dan tuntutan syarat ujian dari kampus membuat kami patuh untuk hadir pada program wajib ini. 

Namun apa yang kami dapatkan dalam tiap pertemuan nantinya akan merubah perak menjadi emas, kepentingan nilai dan antek-anteknya telah menjelma sebagai kebutuhan akan pencerahan batin, kesucian hati, dan bertambahnya kecintaan pada ilmu. 

Itu nanti, tapi sekarang aku tetaplah sedang digulung jenuh dan dibekuk kebosanan.

Kami tahu lelaki itu bukan siapa-siapa, bukanlah Dosen dan bukan pula seorang Ustadz. Status kami dan dirinya masihlah sejajar dalam kapasitas mahasiswa yang tengah banting tulang menghimpun ilmu. 

Ruang sosial yang memisahkan kami hanyalah tingkatan semester dan status senior-junior, selebihnya adalah pola adaptasi yang membuat kami saling menerima satu dengan yang lain. 

Dialah kakak angkatan yang memandu kelompok mentoring Agama Islam kami di Kampus Hijau.

Integritasnya teruji dalam usaha menerobos hujan sederas ini dengan mengayuh sepeda balap tua itu. Aku tak pernah membayangkan kalau pertemuan rutin ini begitu penting bagi lelaki berkepribadian kholeris-sanguinis itu. 

Sekarang aku merasa begitu naif ketika berpikir untuk pulang dan berkemul dalam selimut hangat. Terbesit niat malas itu sudah cukup membuatku merasa jadi orang egois, padahal Kak Fauzi saja hadir di bawah hujan sederas ini. 

Aku serasa dikepung oleh berbagai tanya dan rasa malu pada kesungguhan lelaki patron itu___

“Assalamu‟alaikum!” Sosok jangkung dengan wajah tirus itu memasuki Mushalla, kami menjawab salamnya hampir serempak.

“Afwan, jadi nunggu lama.” Lanjutnya sambil melangkah hati-hati di atas kramik Mushalla.

“Ini kita sambil tiduran, Kak...” Aria menjawab seolah-olah keinginannya untuk pulang tadi tak pernah ada. 

Kuperhatikan wajah dan kemeja Kak Fauzi yang basah. Di wajahnya ada kelelahan yang tersembunyi dan mungkin saja kemeja yang basah itu bukan rembesan air hujan. Itu mungkin keringat.

Sebenarnya aku ingin bertanya, apa yang ada di pikirannya tentang janji pertemuan ini? namun melihat guratan semangat dalam mata elangnya cukup membuatku diam. 

Tapi yang kutahu observasi langsung adalah metode efektif untuk lebih meyakinkan keingintahuanku pada hal ini, untuk itulah aku diam, mengamati, lalu menyimpulkan jawabanku sendiri dengan lebih meyakinkan di pertemuan-pertemuan selanjutnya.


Kak Fauzi sekarang duduk di atas karpet Mushalla. Meletakkan tas punggungnya di sisi kanan. Zaman bangkit dari pembaringannya dan duduk tegap, matanya masih digantungi kantuk. 

Huda pun melakukan hal yang sama setelah memasukkan buku catatan kuliahnya ke dalam tas, disusul denganku dan Aria yang lalu menyempurnakan posisi kami menjadi lingkaran kecil. 

Kak Fauzi menyodorkan sesuatu yang terbungkus plastik hitam ke tengah lingkaran. 

“Biar hangat, enaknya makan yang hangat.” Selorohnya sambil tersenyum dan membuka bungkusan yang ternyata roti bakar dan seplastik gorengan hangat.

Perutku seperti bersorak sorai bahagia, ini hajatanmu kawan. Begitu soraknya. Malam ini mungkin akan berganti dengan malam yang lain. Tapi Hujan telah menjadi penanda memori dalam benakku, juga nuansanya yang terpahat sempurna dalam ingatan ini bersenyawa dalam ikatan ukhuwah ini.


***
EMBUN :
"Orang beriman itu bagaikan satu jasad, atau bagaikan satu bangunan yang saling mengukuhkan"(HR. Bukhari & Muslim)

Bersambung ...

KISAH SELANJUTNYA


Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris