badge

Kamis, 10 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [ 1 ]


Lima Lelaki dan Hujan
 (Part 1)





Kebersamaan kami berjalan dengan sangat normal, waktu itu kami masihlah mahasiswa Semester I di Kampus Hijau. Kami telah menjalani sebuah siklus ketergantungan yang secara tak sadar mempengaruhi jalan dan pilihan hidup kami nanti.


Tidak seperti rantai makanan yang mengharuskan kami saling bergantung hidup dengan "mangsa-memangsa", kami justru merasa seperti siklus udara dalam tubuh yang sedang bernafas. 

Menghirup keimanan yang melimpah-ruah dan mengeluarkan kefanaan dunia yang sempit-menyesakkan. Sederhana sekali___namun meraup keimanan yang maksimal rasanya tidaklah semudah proses di dalam Mushalla Al Falah saat itu.

Di kampus-kampus lain Mushalla atau Masjid-nya difasilitasi dengan ruang imam, dinding putih tulang, ukir-ukiran kaligrafi di atas kanvas atau dinding, microfone, dan sedikit diantaranya memiliki mimbar yang elegan. 

Tapi lain halnya dengan Mushalla Al Falah tempat kami bernaung. Yang ada di sini hanya hijab dan karpet panjang bermotif masjid sebanyak empat buah. Di sudut barat laut memang ada mimbar yang sudah tak layak pakai, tapi masih saja benda itu berdiri di sana seperti pajangan
hias untuk menunjukkan : INILAH MUSHALLA KAMPUS KITA, KAWAN!

Tempat ini dulunya adalah aula terbuka sebagai tempat Mahasiswa berembug mencapai mufakat, terkadang bisa menjadi tempat tasyakuran kampus, dan paling sering jadi tempat mahasiswa rujakan sambil ngerumpi.

Tempat ini berada di ujung barat area kampus, di samping kantin, dan tepat berada di depan Ruang II perkuliahan. Ukurannya hanya 8 x 6 meter persegi dengan posisi shaf yang unik, karena aula ini jelas terlihat melebar dari utara ke selatansehingga shaf putri berada di sebelah kiri dan shaf putra di sebelah kanan, dan itu pun hanya dipisahkan hijab setinggi bahu. 

Ditambah lagi arah kiblat berada pada posisi barat laut kampus, sehingga posisi shalat di dalam Mushalla harus beradaptasi. Maka sempurnalah shaf shalat berjamaah di Mushalla kampus kami layaknya PASKIBRAKA yang dikomando: serong kanan grak!

Mushalla sederhana yang cukup untuk melepas sujud, di tempat itulah kumulai semua cerita ini. Ketika hujan deras mengguyur kota Yogyakarta―hampir dua jam. 

Tempratur udara yang lembab sejak sore membuat badan menggigil dingin dan ingin sekali berkemul di dalam selimut. Namun sekarang kami sedang bersabar menjalani pekerjaan yang paling membosankan di setiap sudut bumi. 

Bayangkan, shalat Isya‟ berjamaah sudah tunai sejak 45 menit yang lalu. Tapi nyatanya kami masih setia berada disini.

Kalau pekerjaan ini digaji mungkin siapapun orangnya akan bersedia duduk tenang. Tapi sayang pekerjaan ini adalah pekerjaan gratisan yang bisa membuat orang menguap hebat, hemmorhoid jadi kumat menggelisahkan, lalu mood menggulung-gulung tak jelas. 

Karena pekerjaan ini juga seorang calon ayah cemas di depan ruang bersalin, para pelamar kerja berkeringat dingin di kursi duduknya, dan pastinya pekerjaan inilah yang membuat empat orang mahasiswa semester I tak jelas tingkahnya di dalam Mushalla kampus nan mungil ini___

Anak Sekolah Dasar sekalipun tahu kalau pekerjaan ini namanya “menunggu”.

Karena pekerjaan itulah pemuda bernama Zaman sekarang tidur nyenyak di atas kerpet Mushalla. Aria duduk bersandar sambil membolak-balik majalah Ekonomi Islam tanpa fokus. 

Huda menghadap kiblat sambil membuka catatan kuliah siang tadi dengan gamang. Dan yang lebih tak jelas lagi adalah orang yang mengamati sambil menulis rekaman tentang aktifitas mereka di dalam buku catatan hariannya. 

Itulah aku, yang mereka panggil Syarif. Kebosanan sedang hinggap pada kami saat ini. “Hujan deras begini, Kak Fauzi sepertinya kejebak hujan Rif.” Aria memandang ke arahku. “Kalau kita pulang saja bagaimana?”

Kebosanan Aria sudah terucap. Sebenarnya aku juga, tapi dalam benakku ucapan Zaman sebelum lelap membuatku menahan bosan. “Biasanya Kak Fauzi pasti kontak kalau mentoring ditunda atau batal....”

Apa yang dikatakan pemuda tambun itu ada benarnya. Kakak angkatan kami itu pasti selalu memberi kabar kalau pertemuan ditunda atau mungkin digantikan di hari yang lain. 

Zaman selalu percaya itu dan sekarang dia asyik tidur dengan dengkuran kecilnya di atas karpet. Perutnya yang serupa bantal air itu mengembang kempis dengan teratur.

“Kalau aku sih oke, Ar. Bagaimana, Da?” aku bertanya pada pemuda berwajah kuyu yang baru saja mengucek mata sipitnya, sepertinya kantuk mulai hinggap di matanya. 

Ia berpaling dari catatan kuliah lalu memandangku yang berada di sisi kirinya. Aku yang tengah bersandar pada pilar mengangkat alis. Huda menggumal bibir lalu berpaling ke arah Aria yang baru saja bangkit dari sandarannya. 

“Aku terserah aja. Ngikut...” Jawab Huda bimbang. Pemuda pendiam ini selalu tak tegas memberi jawaban. Segala keputusan kelompok diterimanya dengan mudah. 

Aku yakin walaupun hal sederhana seperti ini sebenarnya ia memiliki pandangan berbeda yang terkunci di lidah, tersimpan rapat di dalam pikiran, dan mengendap di dasar kepercayaan dirinya.

“Zaman tuh...” lanjutku menyodorkan pandangan pada pemuda tambun yang tidur terlentang tidak jauh di belakang Huda. Huda menoleh padanya dengan wajah yang benar-benar kusut karena bosan. 

“Man!” Aria yang tadi berdiri kini berpindah tempat di dekat kaki Zaman.

“Man!” sekali lagi ia menggoyang-goyangkan kaki pemuda tambun yang mulai menggeliat karena namanya disebut.

Sahabat tambunku itu menggerutu. Zaman masih setengah sadar.

“Oi! Man, bangun!”

“Kenapa#*~” Zaman tampak heran karena pemandangan masih terlihat sama seperti tadi. Di luar sana hujan masih turun dengan deras, mengeroyok bumi dibawah gelap.

Zaman menguap hebat. Lelaki tambun itu lalu tampak beberapa kali mengerjap lelah. Aria mengutarakan tawarannya untuk pulang dan pemuda tambun itu mendengarkan dengan setengah sadar. 

Tak lama ia memandangku dan Aria bergantian. Eh, ia justru kembali berbaring menyamping dengan posisi memunggungi Huda. Jelas Aria menggeleng heran karena tak ditaggapi.

“Tadi Kak Fauzi SMS. Katanya sebentar lagi datang.” Ucapan Zaman menarik perhatian kami, “Tunggu saja sebentar lagi!” ia menggerutu dengan mata tertutup. Sepertinya berusaha untuk kembali tidur. 

Mendengar itu Aria tak berkomentar lagi, ia duduk selonjoran menghadap timur tidak jauh dari Zaman. Perlahan-lahan ia pun ikut berbaring terlentang. 

Sedangkan diriku kembali menekuni catatan demi catatan di atas pangkuan. Entah bagaimana aku harus menggambarkan tentang Zaman Abdurrahman. Yang jelas sikapnya tadi sudah menunjukkan tugasnya sebagai ketua kelompok. 

Padahal bisa saja dia memutuskan pulang, lalu masing-masing kami bisa menghangatkan diri dengan jaket atau selimut, dan pastinya tidur nyenyak di atas kasur masing-masing. Ah, apa lagi rasa laparku
muncul sejak tadi.

Sebenaranya aku ingin sekali mengajak yang lainnya makan malam dulu di warung depan. Tapi berlarian ke arah warung depan kampus sama saja berniat mandi kuyup, sedangkan payung atau pun jas hujan saja tak ada. Tapi kalau bersepakat untuk pulang sepertinya hujan tak akan bermasalah denganku. 

Kostku dekat, basah kuyup sekalipun aku bisa langsung ganti lalu menghangatkan diri. Bayangan kamar kos mengambang-ngambang di benakku. Aku tak habis pikir mengapa kelompok Mentoring kami mengambil waktu malam hari. 

Sedangkan teman-teman di kelompok Mentoring lain bisa nyaman karena waktu Mentoring mereka ada yang pagi, ada juga yang sore. Kubekap erat jaket yang membungkus tubuh dan bersila merapatkan punggung kaki agar lebih hangat.

Tiba-tiba bunyi berdencit itu terdengar. Disusul kecipak genangan air yang digilas tanpa canggung oleh laju ban tipis yang berputar cepat. Semakin dekat derik rantai yang mencengkram gerigi membuat semuanya jelas bagiku. 

Sekelebat bayangan lalu melesat di bawah guyuran hujan, menunggang produk cina dengan emblem besi bergambar burung api di depan kerangkanya. 

Setiap kali produk cina itu melewati dataran berundak maka beberapa bagiannya akan berderak riuh dan bergetar ricuh, pertanda benda itu adalah benda tua yang laku dijual dengan harga pas di pasar loak sepeda. 

Tapi benda hitam dengan stang balap yang melengkung sempurna itu terlihat tangguh nan antik di dalam gelap malam dan guyuran hujan.


Bersambung ... 

KISAH SELANJUTNYA

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris