badge

Senin, 21 Desember 2015

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [6]








Anak Kost
(Part 1)

KISAH SEBELUMNYA



Jarak kost-kostanku dengan Kampus Hijau tidaklah jauh. Hanya terpisahkan Jalan Abu Bakar Ali yang memanjang ke barat dan Jalan Krasak yang melintang menuju tenggara. Kita susuri Jalan Kerasak menuju timur kira-kira 10 meter maka akan sampailah kita di gang pertama menuju Kost-kostan-ku. Tapi jujur saja, itu menurut arah mata angin di kepalaku, karena memang pada kenyataannya setiap orang yang baru nemplok di daerah Kotabaru, khususnya Jalan Krasak maka otomatis kompas biologisnya sedikit “kacau”. 

Bukan karena segitiga bermuda sedang pindah sementara ke sini, tapi justru karena ruang tata kota di kelurahan Kota Baru inilah yang menurutku sangat “menipu”. Konon katanya, tata kota ini katanya untuk menipu penjajah Belanda. 

Kawan, pernah di awal menempati kamar kost aku mengandalkan perkiraan untuk menentukan arah kiblat, waktu itu telah masuk waktu zuhur ketika matahari berada di puncak sana. Bahkan ketika matahari sudah melorot turun ke arah barat pun tetap saja aku tak bisa memastikan arah kiblat. 

Pasalnya di arah matahari tenggelam, tepat di seberang kostku menjulang tembok tinggi yang memisahkan gang dengan sebuah asrama di Balai Widya Mandala, Kotabaru. Jadi otomatislah aku tak bisa mereka-reka kiblat itu berada di sudut ini atau itu, walaupun ketika matahari surut. Maka jadilah solusi praktis yang kulakukan adalah berusaha mengingat-ingat posisi kedatanganku ke kost dari kampus. Kusimpulkan kampus itu berada di posisi utara.

Berarti kalau kiblat pastinya kira-kira sedikit di posisi sana. Begitu pikirku saat itu. Akhirnya kutunaikan shalat Zuhur ketika itu dengan mulai bertakbir hingga mengakhiri dengan salam. Begitu seterusnya di beberapa waktu shalat berikutnya. Dua hari setelah itu ketika aku memberanikan diri bertanya pada penghuni kost lainnya yang lebih senior, aku baru tahu ternyata shalat-shalatku sebelumnya salah arah. Bayangkan―sempurna mencong ke utara.

Maka setelah itu, untuk menghilangkan segala keraguan yang mulai mengeroyok pikiran, kuputuskan saja shalat di Masjid (Masjid Citra Fiisabilillah) terdekat agar lebih aman masalah arah. Tak rugi juga, toh berjamaah bisa mendapatkan pahala 27 derajat lebih mulia di sisi Allah daripada shalat sendiri. Baru setelah tiga tahun di Kerasak dan berikhtiar memakmurkan Masjid seperti nasihat Simbah Putri―Eh, faktanya kiblat Masjid justru mencong ke arah Barat Daya (Begitulah hasil pantauan Bapak Pimpinan RT 16 lewat pencitraan satelit setelah dengan inisiatifnya membuka Google Earth, sungguh bapak-bapak yang trendi).

Pemukiman warga Magersari (Dikatakan demikian karena rumah seluruh warga di tempat ini menumpang di atas tanah Kesultanan Yogyakarta) di Jalan Krasak, Kotabaru, Yogyakarta adalah entitas yang menarik untuk diamati. Sebagai salah satu pusat pemukiman di tengah kota, tempat ini telah berhasil menarik perhatianku sejak pertama kali datang. Khususnya kost-ku. Induk semangku adalah seorang lelaki tua bernama Pak Harkat. Seorang pensiunan yang sehari-harinya sekarang menunggui rumah dan menjalankan hobi filateli-nya. Seringkali hobinya merawat perangko-perangko tua itu dilakukan di teras depan setiap sore dengan nuansa yang santai. Sedangkan di pagi hari walaupun tidak sesering membuka album filateli-nya, ia akan menemani cucu kesayangannya jalanjalan keliling Magersari.

Pak Harkat sering terlihat mengenakan kaos dan sarung yang melilit di pinggangnya. Sarung inilah yang membuat Pak Harkat layaknya kaum bersarung dari pondok-pondok pesantren tradisonal. Terlihat bersahaja, bijak, dan sangat religius. Tapi akan sangat mengherankan ketika di Minggu pagi saat udara Kotabaru masih lembab. Pak Harkat dan istrinya tercinta telah berpakaian rapi dan beranjak bersama menuju Gereja St. Antonius Kotabaru. Otomatislah saat itu aku uring-uringan dengan tanda tanya.

Ya, begitulah kenyataannya setelah tiga bulan berlalu aku baru tahu kalau ternyata Pak Harkat bukan seorang Muslim. Bahkan selama tiga bulan itu aku selalu mengucap salam ketika berlalu di hadapan Pak Harkat. Pernah pula ketika berpapasan dengannya di mulut gang, kepalaku mengangguk merendah. Seiring itu ucapan salam yang tulus terlontar. Ia bahkan menjawab salamku dan tersenyum layaknya Haji Umar yang sering shalat di Masjid Panti Asuhan Darwisy Ihsan. 

Bapak Kostku itu dan Istrinya ternyata memang seorang Katolik yang taat. Rumahnya persis berada di tikungan gang. Bersebelahan dengan bangunan bertingkat dua yang dibangunnya sebagai kost-kost-an. Kamar kostku berada di lantai dua bersama dengan enam kamar lainnya, sehingga total kamar kost itu adalah tujuh kamar. Dari tujuh kamar kost itu, empat kamar telah terisi. Sedangkan di lantai bawah dihuni oleh anak Pak Harkat yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang putra. Ditempat inilah nanti kurang lebih empat tahun lamanya aku menetap sebagai anak kost. Berusaha betah dengan berbagai pengalaman dan kesan yang akan kuceritakan pada Simbah Putri. 

Sontak____ingatan nasihat Simbah Putri dulu memantul-mantul di benakku. Ketika itu dua hari sebelum keberangkatanku ke Jogja, tepatnya di dapur umum Panti Darwisy Ihsan, Simbah Putri menasehatiku. “Nanti di Jogja, kalau bisa cari kost yang dekat dengan Masjid supaya shalat lima waktumu tidak telat. Pasti disana nanti kamu bisa kenal dengan masyarakat yang berakhlak. Karena cuma manusia berakhlak yang mau mengikuti tuntunan Kanjeng Nabi shalat di Masjid. Ngerti?” aku mengangguk-angguk sambil memandangi Simbah Putri yang sedang mengiris-iris kubis.

“Kalau tidak dapat kost dekat Masjid bagaimana, Uti?”

Simbah Putri memandangku. Mungkin berpikir kalau aku berniat untuk tak mengikuti saran beliau. Akhirnya ia kembali melanjutkan mengiris kubis di hadapannya, “Setidaknya kawan kost-mu nanti orang yang lurus akidahnya....” Simbah Putri memindahkan irisan kubis ke dalam keranjang di sampingnya lalu mengangkat wajah kearahku, , ”Agama itu tolak ukur, Han. Seperti kata Mbah Kung kalian, kalau soal muamalah kita tidak perlu pilah-pilih. Tapi soal akidah dan prinsip harus tetap kau junjung tinggi. Apa lagi di Jogja itu orangnya macam-macam tingkahnya, banyak godaannya____

Kau lihat Halim anak Pak Muchtar itu!? Ber-anting seperti perempuan dan bertatto seperti orang tak beragama. Mana bekas pendidikan Madrasah Aliyah-nya?” nada suara Simbah Putri sedikit naik, hal biasa kalau beliau menekankan sebuah hal penting untuk diperhatikan anak-anak panti. 

Kupikir-pikir anak Pak Muchtar pemilik toko alat bangunan itu sejak Madrasah Aliyah memang sudah diam-diam nakal. Merokok sembunyi-sembunyilah, bolos mengaji-lah, berbohong-lah, bahkan mengambil uang tanpa ijin di rumahnya―jangan heran bagaimana aku tahu itu, karena dia sendiri yang mentraktir beberapa remaja Masjid untuk tutup mulut―termasuk aku. Praktek suap sejak dini yang terbukti ada dan tak mengherankan ketika nantinya punya kuasa orang-orang seperti ini ahli colongmenyolong dan suap-menyuap. Begitulah, maka sekolah jauh dari rumah seperti ke Jogja justru membuat Halim lebih bebas seperti itu. Ibarat macan lepas dari kandang, dia maraton sepuas-puasnya agar tak dikandangi lagi. 

Melihat itu maka nasihat Simbah Putri sudah cukup jadi kompasku: “Agama itu tolak ukur” begitulah petuahnya. Aku sepakat sekali, coba bayangkan apa lagi yang bisa menjaga akhlak manusia kalau bukan Agamanya? Apa lagi di kota orang yang aku sendiri ketika itu masih meraba-raba dalam gelap. Buram tak jelas.

“Kau harus pintar cari lingkungan yang bagus, Han...” Lanjut Simbah Putri seperti mengetahui jalan pikiranku, “Banyak orang yang dulunya rusak jadi baik karena lingkungannya yang baik, tapi sebaliknya juga banyak orang baik yang rusak karena lingkungannya yang buruk. Nah, Simbah berharap anak-anak panti Darwisy Ihsan tidak sampai rusak karena lingkungan, ingat omongan Simbah ini. Seorang muslim lebih baik merubah daripada dirubah...” Simbah Putri balas memandangku sambil tersenyum, “Ngerti?”

“Nggih Mbah...” Aku mengangguk-angguk paham.

Saat itu beliau tersenyum penuh kelegaan mendengar jawabanku. Begitulah ingatanku tentang beberapa nasihat Simbah Putri yang sederhana dan sederhana menyentil. Bayangan itu muncul setiap kali aku merutuki diri yang sempat lalai shalat berjamaah di Masjid, apa lagi ketika sedang bersosialisasi dengan masyarakat. Nasihat itu seumpama garis aman yang akan menjagaku dari kemungkinan terburuk di lingkungan masyarakat yang baru.

Misalnya saja seperti persoalan sosialisasiku dengan Pak Harkat, induk semangku. Aku sempat tak percaya kalau ternyata sekarang in the kost satu atap dengan non muslim. Jadi sangat bersebrangan dengan arahan Simbah Putri yang memintaku memilih lingkungan yang bagus.

Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, kawan. Yang terpenting adzan yang berkumandang di masjid terdengar sangat jelas dari tempat ini. Tinggal melangkah keluar gang menuju jalan Krasak, Masjid Citra Fiisabilillah sudah menunggu disana.

Bahkan, tiga orang penghuni kost lainnya ternyata juga seorang Muslim. Memang mengherankan ketika Bapak Kost-ku Seorang non muslim tapi mayoritas anak-anak kostnya justru Muslim. Maka benarlah ungkapan Pak Warno tukang kebun Panti Darwisy Ihsan: “Dibalik satu kesusahan ada dua kemudahan, Han....”


***



BERSAMBUNG ...


KISAH SELANJUTNYA





Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris