Coba bayangkan jika kedua orang tua memiliki prinsip dan cita-cita berbeda untuk seorang anaknya. Yang satu ingin anaknya jadi pengusaha sukses, yang satu lagi ingin anaknya jadi ilmuan tulen. Yang satu menyekolahkan anaknya ke Ibtidaiyah dan yang satu mendaftarkan anaknya untuk membaca dan melagukan kitab Barzanji. Bahkan ketika yang satu kekeuh mempertahankan bahasa suku dan yang satunya justru memberi semangat membaca buku-buku bertuliskan Indonesia latin. Walhasil karena prinsip dan cita-cita yang berbeda itu pulalah si Anak punya dua nama dalam hidupnya. Begitulah keunikan yang terjadi dalam kehidupan si Rudi, tokoh Novel ini yang tak lain adalah si penulis sendiri.
Tumbuh besar di Parit Tiga, Sebantan Besar, Sungai Guntung sebagai anak Bugis asli membuat Si Tokoh akrab dengan masalah-masalah Bugis perantauan. Berbagai petuah dan cita-cita yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil melecut Rudi untuk berbeda dari anak Bugis perantauan lainnya. Keseharian hidupnya tumbuh dengan perinsip dan karakter yang membuatnya membuka mata tentang dunia dan masa depan.
Mari lihat bagaimana Ibu Rudi mempengaruhi cara berpikir anak lelakinya ini yang pada akhirnya membuat anaknya terkenal di seantero desa: Andai saja Ibu tidak pernah mengajariku falsafah hidup orang Bugis, “Anu teng aaga koloo makki guuna (Jangan kau remehkan sesuatu yang kelihatannya kecil, sebab bisa mendatangkan manfaat besar).” mungkin aku tidak pernah berpikir menyelamatkan arsip balai desa. Karena aksi penyelamatan arsip desa saat musibah banjir itulah si Rudi diberi gelar Putra Salju, gelar yang menempel karena pemberian Pak Kades langsung.
Lalu berbeda lagi dengan sang Ayah yang mendidiknya dengan membaca : “Rudi, membaca itu adalah hak setiap orang. bukan monopoli orang sekolahan atau orang kota. Justru karena tinggal di desa, kita harus banyak membaca agar tak ketinggalan informasi dan pengetahuan….”
Masih banyak lagi petuah dan taburan semangat yang tersajikan dengan sangat natural dalam memoar bergaya fiksi ini. Tak hanya sebatas kehidupan keluarga, petualangan masa kanak-kanak, romance cinta Rudi di Pondok Wali Songo pun menggelitik romantik.
Berkesan! Begitulah cerita yang dikemas Salman El Bahry dalam novel-nya berjudul Putra Salju ini. Sebuah memoar hidup yang dikemas sebagai fiksi yang menggelitik dan penuh petuah yang menendang semangat. Orang-orang yang mencintai bangsa ini dengan kekayaan budayanya wajib baca buku ini. Apa lagi orang Bugis, saya saja yang orang suku Sasak tulen merasa beruntung bisa mengenal beberapa kosa kata dan ungkapan Bugis di dalamnya.
Sebagai pembaca saya akui si penulis berhasil menggiring pembaca mengalir mengikuti alur Bab demi Bab bukunya.
Namun dari keseluruhan cerita saya sempat dibuat bingung dengan beragam tokoh yang muncul dalam hidup si Rudi namun tak utuh diperkenalkan penulisnya. Bahkan dari sinopsis pendek di belakang buku saya membaca kalau si Rudi adalah seorang anak nelayan tapi pada kenyataannya di dalam cerita Rudi adalah seorang anak petani tulen.
Satu lagi, jujur design cover novel ini kurang menarik perhatian saya. Penampilan model di cover-nya memperihatinkan sekali dan tak mewakili keseluruhan cerita. Kalau bukan karena celetukan teman, mungkin saya tidak membuka 10 lembar pertama buku ini. Tapi nyatanya sekarang bukunya sudah tuntas dan seperti itulah sebagian isi buku setebal 268 halaman ini.
Wah, sepertinya tak akan selesai kalau saya meresensinya ngalor-ngidul begini. Yang jelas Salman El Bahry telah berhasil menuliskan sebagian dari sejarah dirinya. Mengutip kata Ayah Rudi : “Setiap lelaki adalah perajurit….” maka bolehlah resensi ini kuberi judul: Setiap Penulis Adalah Pengukir Sejarah Diri.
Terima kasih, Wassalam.
Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^
Terima Kasih
Halama Haris