Siang yang memanggang. Aspal yang tergelar membuahkan fatamargana di siang hari. Saat itulah si Masmun mengayuh sepedanya sekuat nafas, tersengal-sengal, bercucur keringat, dan senut-senut di kepala karena panas. Tak ada lain yang ada di pikirannya adalah mengejar jadwal bimbingan belajar di sebuah Lembaga Bimbel ter-favorit di Kota Pelajar ini. Tapi sebelum sampai, kerongkongannya sudah seperti minta disiram air. Dehidrasi berat.

Bayangkan saja, pagi hari Masmun harus menempuh empat kilometer ke utara untuk sampai di sekolahnya. Siangnya sepulang sekolah ia harus mengayuh lagi dua kilometer ke timur menuju tempat bimbingan belajar. Itu berlangsung rutin di hari aktif sekolah. Biasanya bimbingan belajar pulang ketika waktu hampir maghrib. Sehingga tak heran jika sampai di rumah Masmun pasti tepar karena kelelahan. Tapi demi cita-cita jarak bukanlah masalah, toh di sini ada nilai perjuangan. Yah, sambil menerapkan selogan Sego Segawe lah.
Masnun lalu terngiang sesuatu. Prinsip Bapaknya yang seorang penjual mainan anak dan Ibuknya yang berjualan di Pasar Bringoharjo, “Hidup itu perlu di syukuri apa lagi otak kita yang dikaruniakan oleh Gusti Allah ini. Kalau tak di gunakan berarti kita tak bersyukur, untuk itu kamu harus pintar Mun. Belajar yang rajin.”
Masmun merenung, benar kata Ibuk dan Bapaknya. Dia memang harus pintar. Apa lagi biaya bimbel pun di sisihkan dari uang hasil kerja orang tauanya, kalau tak serius sama juga dengan tak berbakti dan menyia-nyiakan usaha mereka. Tak beberapa lama dalam renungan-renungannya itu membawa Masmun hingga sampai di sebuah angkringan di sudut jalan, tapat di tepi jalan dekat sebuah toko kecil. Terpal biru menaungi gerobak beroda dua yang terlihat di isi beberapa pemuda berpakaian pelajar seperti dirinnya.
Masmun sumringah. Dihentikannya ontel di dekat pagar toko. Disandarkannya dengan pasrah lalu melangkah pendek ke dalam angkringan. “Es teh setunggal nggih, Pak.” Ucap Masmun.
Diambilnya posisi duduk di ujung bangku karena tempat lainnya sudah terisi oleh pemuda-pemuda seusianya yang asyik menyantap panganan, nasi oseng, gorengan, dan menyeruput minuman dingin. Tampaknya senasib dengan Masmun, gerah tak terkira.
“Monggo.” Es teh telah jadi dan disodorkan oleh si bapak pada Masmun yang langsung diseruputnya dengan cepat. Glek. Glek. Glek. Tiga teguk dan setengah gelas es teh di tangan Masmun telah berpindah ruang mengucuri kerongkongannya yang kerontang. Pangangan di hadapannya menarik minat. Tak lama ia berpikir lalu tangannya telah meraih tempe goreng di sudut gerobak angkringan.
Saat itulah deru motor meraung-raung dan mendekat ke arah angkringan. Pemuda di samping Masmun tiba-tiba berteriak nyalang. Bapak penjual terlihat panik dan membentak kasar. Pemuda lainnya melompat liar keluar dari angkringan. Sumpah serapah kini terlontar kasar dan bertubi-tubi melayang dari lidah mereka. Masmun kebingungan sampai akhirnya sebuah tangan kasar menarik lengannya dari belakang. Tubuhnya terpental dan jatuh terjerambab. Belum sempat ia bangkit dan sadar apa yang terjadi. Ayunan kaki melayang ke perutnya. “URGH!” menohok ulu hati. Membuatnya berteriak sekeras-kerasnya.
Saat itulah pandangannya sedikit menerawang, pemuda-pemuda yang tadi tengah makan di angkringan kini sedang bergelut dengan pemuda-pemuda lain yang datang membawa motor. Tidak sedikit. Jalanan beraspal yang sepi itu kini berubah menjadi medan tempur. Sebuah batu melayang jatuh dan hampir menimpa tubuh Masmun.
Sementara itu pemuda yang menutup mulutnya dengan slayer hijau itu tak henti-hentinya menyiksa Masmun dengan tendangan. Masmun melawan dengan mencekal ayunan kaki yang kokoh itu. Tapi sebatang kayu di tangan pemuda berslayer hijau itu terangkat. Entah berapa kali kayu itu terayun ke sekujur tubuh Masmun, yang jelas saat pandangan Masmun memendarkan warna merah kental pemuda berslayer itu berlari menjauh, berbaur dengan kerumunan yang masih ribut dan riuh.
Masmun kini hanya bisa memandang dari sedikit celah penglihatannya. Ia tak bisa bangkit untuk berlari mengambil ontel warisan kakeknya. Dari celah penglihatannya hanya satu yang tertangkap dan terekam oleh ingatan, tempe goreng tergenggam di tangan kanannya.
***
“Mun, sarapan dulu.” Masmun segera mengambil ranselnya yang bersandar di pinggir dipan tempat tidur. Semua telah rapi dan ia siap berangkat ke sekolah. Masmun keluar kamar dan tepat berpapasan dengan Bapaknya.
“Bantu Ibukmu sebentar di dapur, adikmu rewel di sana. Bapak mau ambil barang di Pak Raga.”
“Tapi aku buru-burue, Pak. Ini saja sepertinya sudah telat kalau ngayuh.”
“Sebentar saja!” tampaknya tak ada kompromi dari Bapak yang kemudian berlalu keluar rumah. Dengan berat Masmun melangkah menuju dapur, dari dalam dapur terdengar tangisan Nirah adik Masmun yang masih berumur empat tahun.
Ibuk Masmun menyadari kehadiran putranya. “Ayo sarapan dulu. Ibuk goreng tempe kesukaanmu.”
“Aku berangkat ya, Buk. Bisa telat nih. Sarapannya nanti saja di sekolah, sanguku dilebihkan saja supaya bisa sampai sore. Nanti kan langsung bimbingan belajar.” Kalimat itu membuat Ibuk terdiam. Sementara Nirah masih terus saja nangis merengek-rengek minta makan nasi goreng. Sedangkan Ibuk tanpa bicara merogoh dompet yang tak jauh disimpan di atas meja dapur, lalu dua lembar sepuluh ribuan disodorkannya pada Masmun.
“Hati-hati.” Kata Ibuk dengan lirih. Nirah lalu digendong Ibuk sambil melanjutkan menggoreng tempe di atas wajan. Saat itu Masmun benar-benar sedang tak berniat ngopeni si Nirah, dalam pikirannya cuma ada ketakutan kalau-kalau terlambat sampai sekolah, toh ngopeni si Mirah kan permintaan Bapak bukan Ibuk.
“Yang rajin belajarnya. Jangan macem-macem. Kamu harus pintar le, biar nanti bisa banggakan Bapak-Ibukmu.” Kalimat Ibuk itu membuatnya terngiang-ngiang hingga meresap ke dalam hati. Masmun lalu berpamit dan berangkat mengayuh ontel tua warisan kakeknya. Meninggalkan tempe goreng kesukaannya yang dibuatkan Ibuk dengan sepenuh cinta di pagi itu. Pagi dimana ia tak patuh pada kata-kata Bapak dan sedikit menanamkan benih kecewa pada Ibuk. Seandainya Masmun tahu, siang nanti tempe goreng akan mengingatkannya tentang pagi ini. Pagi terakhir dalam hidupnya.
***
Yogyakarta, 11 Mei 2010
Untuk para pemuda
yang ingin membanggakan
orang tuanya...
[Cerpen saya yang dimuat di Harian Jogja tanggal 19 Juni 2010, hihihi just coba-coba ngirim lagi eh dimuat!]
Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^
Terima Kasih
Halama Haris