Saat itu 10 Muharram 1428 H, malam yang lembab karena sore harinya hujan turun dengan deras. Dari Kota Yogyakarta sampai dusun terpencil di Wonosari ini jalan utama becek dan menggenang air di sana-sini. Pepohonan dan dedaunan sudah sempurna basah, sekarang berayun-ayun malas karena angin malam yang tenang. Bunyi nyanyian jangkrik di kejauhan seperti gesekan senar yang dipaksakan untuk ritmis, samar tapi jelas walaupun tertutupi sumbangnya suara wedus yang tak henti-hentinya mengembik melankolis.
Menempuh perjalanan cukup lama di atas mobil pick up membuat saya cukup akrab dengan suara itu. Maklumlah saya tidak sedang duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, karena di sampingnya sudah terisi oleh istri dan anak warga dusun yang merangkap guide perjalanan kami. Jadi sudah jelas kan saya duduk dimana. Nah betul sekali, di tepian belakang pick up saudara-saudara. Setia membersamai wedus-wedus melankolis yang diikat aman. Lelaki kecil diterpa angin lembab di sepanjang perjalanan sambil menikmati kerlap-kerlip Yogyakarta ketika melewati Bukit Bintang.
Pastinya tidak sendiri saudara-saudara, kalau sendiri mungkin saya akan jago bahasa wedus setelah sampai tujuan. Alhamdulillah di sampingku ada kakak senior berkacamata, lelaki putih dengan penampilan rapi dan cerdas. Panggilannya Alam, anak dari seorang interprenure di Kudus. Selama perjalanan kami bicara cukup irit, maklumlah karena angin perjalanan keras dan dingin. Topi Kak Alam saja terhempas angin di tanjakan bukit bintang tadi. Terkulai di jalanan aspal yang basah, digilas laju roda kendaraan yang cepat di belakang kami.
Sekarang kami sudah tiba di Lokasi, disambut dengan spanduk out door yang tampak basah oleh guyuran hujan sore tadi. Kak Alam melompat turun dari pick up. Aku menyusul. Beberapa warga dan teman-teman kepanitiaan mendekat, menyambut segerombolan wedus melankolis yang semakin ramai ketika diturunkan. Beberapa kali Suara mereka seperti sedang meratapi nasib satu dengan yang lainnya, mungkin sedang sadar kalau besok pagi nyawa mereka akan tuntas.
“Alhamdulillah…datang juga! Siap diQurban nih…”
“Sudah dikasih makan belum! Makan yang banyak biar besok berisi…”
“Wah yang ini sepertinya sudah siap! Selamat datang ya!”
GUBRAK! Mereka menyalami saya dan Kak Alam dengan ucapan-ucapan selamat itu! Argh…kalau ucapan-ucapan itu diberikan ke wedus-wedus melankolis sih normal, lhaaaa ini kok kepada kami, dua manusia yang mulai terasa masuk angin.
Waktu Isya’ sudah lewat ketika saya sampai di dusun ini. Warga sudah berkumpul di Masjid bersama segerombolan anak muda ber-almamater biru tua. Almamater kampus kami. Ihsan teman seangkatan saya membantu mengangkat sepanduk tambahan untuk besok pagi menuju Rumah Joglo milik warga yang disediakan untuk panitia. Untuk menuju kesana kami melewati masjid yang mulai berdesak-desakan, teras Masjid tempat sebagian besar panitia berkumpul masih belum sempurna atap terasnya saja hanya dinaungi terpal orange, lantai Masjid pun masih dialaskan tikar, hampir semuanya tertutup tikar, itu pun tikar pinjaman dari warga sekitar. Beberapa teman seangkatan saya menoleh sambil mesem-mesem nakal, “Wah sudah siap Qurban nih!”
Argh! Sial! Begini ini nih nasib jadi panitia relawan penjemput kambing, kalau tidak bau kambing ya pasti disangka-sangka kambing. Padahal sudah jelas saya pakai almamater sejak berangkat tadi untuk tidak sama dengan jamaah wedus di atas pick up. Yah yang seperti ini pastinya tak usah dimasukkan ke hati, candaan memang selalu bisa membuat kita akrab-kan?
Menuju Rumah Joglo yang berjarak sekitar 500 m membuat saya harus ekstra hati-hati. Jalan setapak becek berat. Beberapa pecahan bata dan batuan cadas dijadikan pijakan di tanah yang tergenang air. Saya dan Kak Alam berjinjit waspada, diikuti Ihsan yang menjinjing sarungnya, persis orang usai sunatan. Di seberang jalan setapak yang kami lalui seorang wanita berjilbab cokelat menepi. Sepertinya menunggu kami melintasi jalan setapak penuh ancaman ini.
“Itu di dalam ada teh hangat. Dekat tiang rumah…” Ucap gadis berjilbab cokelat itu ketika kami sudah melintas. Kak Alam mengucap terima kasih, saya rasa cukup mewakili terima kasih kami berdua yang menggigil karena cuaca ini. Saya tidak kenal siapa gadis berjilbab cokelat itu, yang saya ingat di waktu ospek kampus dulu dia duduk di kursi belakang, bergabung dengan kelompok di sebelah kelompok saya. Jelas dia peserta ospek juga, tapi entah bagaimana fell saya saat itu mengira-ngira kalau dia juga panitia yang sedang menyamar. Ah, dasar memang saya banyak “keracunan” film barat berbau intelejen.
Sampai di dalam Rumah Joglo kami letakkan tas di sudut ruangan. Bertumpuk dengan tas-tas panitia lainnya yang pastinya sudah berjam-jam berjubel di sana. Rumah Joglo ini tidak seperti replika rumah tradisional yang dipajang di musium, sekarang saya di pendapa (“a” dibaca “o” ya…) yang cukup luas, ruangan ini di bagian depan dan jelas cukup mewakili untuk memperlihatkan kesederhanaan arsitekturnya.
Langit-langitnya ditopang dengan dua tiang di tengah ruangan, kayu-kayu penyusunnya berwarna kusam namun terlihat kokoh saling berkait, lantainya beralaskan tanah padat yang sekarang sebagian besar tertutup oleh tikar. Sirkulasi udara cukup irit, hanya dari pintu masuk yang lebar dan lubang-lubang kecil pada bambu anyaman yang dijadikan dinding. Pandanganku terpaut pada nampan di atas tikar tepat di dekat tiang rumah. Memang benar sudah tersedia dua gelas teh hangat, wah sepertinya memang disediakan khusus untuk kami. Alhamdulillah, cukuplah mengobati masuk angin kami.
“Kalau mau lebih hangat di masjid, Ris. Hidangannya lebih lengkap. Ubi rebus plus plus plus.” Ihsan nyengir, wajah lonjongnya mengembangkan senyum. “Mhmmm pasti mantap! Ntar malam anak-anak mau bakar jagung juga katanya.” Alisnya naik turun penuh arti. Wah perut saya keruyukan membayangkannya. Tapi saya belum shalat isya’ belum juga makan malam. Yah, setidaknya teh hangat, ubi rebus plus plus plus (saya nggak ngerti maksud Ihsan soal menu ini), dan Jagung bakar nanti bisalah mengganjal perut yang kritis.
“Ntar nyusul ya.” Ihsan berbalik setelah mengambil gulungan tikar di sudut rumah, melangkah keluar menuju masjid. Saya buka tas dan mengambil si Blubo (Blue Book), catatan harian saya yang setia. Merogoh pena di kantong belakang tas dengan susah payah karena berjejalan dengan plastik perlengkapan mandi yang tadi pagi saya paksakan masuk ke kantong itu.
“Ris, minum dulu.” Ucap Kak Alam sebelum menyeruput teh hangat di tangannya. Aku menoleh, sekarang dia bersandar di dekat tiang. Di sampingnya segelas teh hangat utuh mengepulkan uapnya. Itu jatah saya, gumam saya dalam hati. Saya melangkah dan menemani Kak Alam menyeruput teh hangat yang disediakan gadis berjilbab cokelat tadi. Siapa ya dia?
Ah kulit saya menggigil. si Blubo yang sangat pas dengan ukuran kantong almamater sudah tersimpan aman, catatan harian yang setia itu akan mengabadikan momen-momen yang tak akan terlupakan nantinya. Saya memandang ke luar rumah Joglo, jauh di bawah kelembaban angin malam cahaya terang di dalam masjid menuansakan kerinduan pada rumah. Saya dan Blubo mencatatnya, saat itu bayangan Mamak dan Bapak melintas cepat, itu malam Iedul Adha pertama di tanah rantau tanpa orang-orang terdekat yang saya sayangi.
Riuh ramai suara di kejauhan berbaur bersama pancaran cahaya lampu masjid yang memendar putih kekuningan. Warga dan mahasiswa membangun ikatan ke-imanan di malam suci itu. Malam Iedul Adha yang selalu terkenang.
***
Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^
Terima Kasih
Halama Haris