badge

Senin, 25 Januari 2016

KESATRIA-KESATRIA EMBUN [8]



Nasihat Dari Pak Koyan


KISAH SEBELUMNYA



Dulu di bumi Sumatra Barat, di Kecamatan Lamposi Tigo Nagari, tepatnya di Kelurahan Padang Sikabu seorang remaja kurus berkulit hitam meninggalkan rumah tanpa pamit. Hanya berbekal ransel sekolah, tiga potong pakaian, dan uang dua ribu rupiah yang menemaninya pergi meninggalkan keluarga dan cerita masa kecil di rumahnya.

Masalahnya sangat sepele, tidak lain karena Ayah si remaja kurus itu bersikukuh ingin menyekolahkannya disekolah Agama sama seperti Kakak perempuannya―di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Kecamatan. Tapi sayang, seperti anak remaja SMP pada umumnya saat itu―semangat berkomplot dan kekompakan masa muda membuatnya memilih untuk bekerja bersama kawan-kawan seusianya di kota Provinsi. Merantau bersama, mengadu nasib di bumi orang.

Saat itu, baginya bekerja adalah sebuah kebanggaan yang bisa membawa keuntungan untuk kantong dan keinginannya. Sebaliknya pendidikan dan cita-cita orang tuanya tentang Ilmu Agama menurutnya justru menghabiskan uang dan waktu produktifnya. Entah dari mana pikiran itu muncul, yang jelas pikiran itulah yang menuntunnya menyusuri jalan hidup yang tak tentu. Meloncat dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain dan ikut orang merantau dari kota satu ke kota yang lain. Tak pernah berniat pulang, tak pernah teringat rumah.

Berlipat usia membuat si remaja kurus tumbuh menjadi pemuda berwatak keras. Masih dengan prinsip masa remajanya membuat si pemuda tidak terhitung berapa kali ikut bekerja pada orang atau mencoba bekerja di sebuah rumah usaha dan jasa. Sampai akhirnya di suatu waktu ia ikut merantau bersama seorang pengusaha elektronik dari kota tetangga menuju Ibu Kota Negeri ini, jauh meninggalkan rumah dan kampung
halamannya.

Di kota besar itulah kekerasan wataknya semakin menjadi-jadi. Karena ditipu orang maka ia belajar tak percaya pada orang lain, karena dihajar orang maka ia belajar untuk melawan, dan karena dihina orang maka ia belajar untuk tidak hormat. Begitulah yang dirasakannya sebagai pahit manisnya hidup di Ibu Kota. Ia terus bertahan dengan kondisi itu hingga akhirnya di suatu ketika ia rindu rumah, dalam berat hatinya ia putuskan untuk pulang――pulang menuju kampung halamannya, rumah yang telah lama ditinggalkan.

Tapi semua telah terlambat. Jauh-jauh hari, entah ketika si pemuda berada di kota rantau yang mana, sang Ayah telah menghembuskan nafas terakhir di atas pembaringan dalam keadaan stroke yang parah. Jasadnya telah lama terbenam di liang lahat, nisan telah lama tertancap, dan rerumputan di atas tanah merahnya sudah lama bertunas. Di atas pusara itulah si pemuda merutuki penyesalan dirinya, mengumpat kebodohan masa remaja, dan menantang masa lalunya untuk dapat merubah masa depannya menjadi lebih terang.

***

“Kamu itu ikut Jamaah apa di kampus, Rif?” Suatu kali Pak Koyan cengengesan melempar pertanyaan itu padaku. Ia memencet tombol remote televisi, mengganti channel ke saluran yang menarik perhatiannya : infotaiment, gosip hangat seorang artis yang digugat cerai istrinya. 

“Maksudnya Mas Koyan?” tanyaku heran sambil menutup lembaran terakhir surat kabar Kedaulatan Rakyat yang sore itu tuntas terbaca. Aku memilih tidak memanggil lelaki berwajah anomali ini dengan panggilan Pak Koyan, aku lebih senang memanggilnya dengan panggilan Mas Koyan. Rasanya lebih dekat dan punya kesan berjiwa muda, kawan.

“Ituh di jaket yang sering kau pakai ada tulisan-tulisan Jamaah, jamaah apa tuh namanya...?” tanya Pak Koyan dengan mimik wajah ingin tahu.

“Fatahillah, LDK Jamaah Fatahillah....” jawabku lengkap.

“OoO. Eh LDK itu apaan?”

Aku membuka halaman depan majalah otomotif yang sekarang berada di pangkuanku menggantikan koran yang sudah kulipat dan kutaruh kembali di atas meja, “Itu singkatan, Mas.” Aku menoleh pada Pak Koyan, “Kepanjangannya Lembaga Dakwah Kampus...” jelasku.

“Ya apalah kepanjangannya. Hati-hati lho ikut-ikutan Jamaah begituan, apa lagi nama-namanya pakai embel-embel dakwah. Tuh kayak di koran, bisa-bisa aliran yang menyesatkan. Agama kan nggak main-main, ya kan?” tanya Pak Koyan retoris.

“Kalau sudah Agamanya Islam ya sudah disyukuri saja. Ajaran Nabi Muhammad yang sudah ada saja masih belum dijalankan eh malah bikin ajaran baru lagi.” Pak Koyan bergeser sedikit lalu bersandar di tembok kamar dengan senderan bantal tidurnya.

“Jujur aja Rif, Pak Koyan ini memang nggak pintar soal agama. Buru-buru tahu soal pikih, shalat saja Pak Koyan masih bolong-bolong. Tapi, kalau soal ajaran sesat―Nehi!” Pak Koyan geleng-geleng kepala ala Govinda si bintang India itu. 

“Lha kok ketawa? Bener lho ini...jangan sembarangan ikut-ikutan jamaahjamaahan gitu.”

“Ah, Mas Koyan ini. Di UGM juga ada LDK Jamaah Salahuddin, di UAD ada LDK Jamaah Ahmad Dahlan, di UMY ada LDK Jamaah Al Anhar, masih banyak lagi, Mas....” jawabku spontan.

“Waduh. Berarti tambah gawat itu!” Pak Koyan geleng-geleng kepala dan gesturnya seditik tegak, “Mahasiswa sekarang sudah berani-beraninya bikin Jamaah sendiri....” lelaki kepala tiga itu berdecak-decak heran. 

“Bukan Jamaah yang aneh-aneh begitu Mas, itu cuma nama rohis di kampuskampus saja....” jelasku singkat, berharap Pak Koyan mengerti. “Lha, apa lagi tuh rois? rohis? horis―teroris?” kelakar Pak Koyan pecah bersama tawanya. Ia selalu senang melihatku kesulitan menjawab pertanyaanpertanyaannya yang aneh dan kadang tak serius seperti itu.

Maka karena itulah obrolan ini tak akan pernah nyambung, mungkin sampai salah satu diantara kami bersedia meneken kontrak MOU tanda penyamaan pikiran. Apa lagi Pak Koyan lebih tua sepuluh tahun dariku, jelas tak mungkin aku bercerita seperti seorang senior pada junior soal LDK padanya. Maka mau tak mau sore itu aku menjadi pendengar yang baik untuk obrolan Pak Koyan tentang aliran sesat yang beritanya baru muncul di koran pagi itu. Tapi dari obrolan inilah kudapatkan dua hal yang dihadapi seorang kader dakwah kampus ketika ia berhadapan dengan mad'u (Objek dakwah atau orang yang didakwahkan).

Hal pertama____

Menyederhanakan dakwah atau jika boleh kuistilahkan dengan ″Membumikan″ prinsip Islam di tengah masyarakat. Karena kenyataannya, menyampaikan perinsip Islam dalam dakwah di tengah masyarakat ini ternyata tak semudah membalik telapak tangan, kawan. Di masa ini butuh ikhtiar ekstra dari seorang aktifis LDK untuk ″membumikan″ dakwahnya agar diterima oleh masyarakat. 

Mereka harus menerjemahkan dalil-dalil Robbani dalam tutur bahasa sederhana di masyarakat dan menyederhanakan akhlak Rasulullah Saw dalam laku kehidupan sehari-harinya. Inilah hal sederhana yang butuh perjuangan untuk dilaksanakan. Seperti itulah yang terjadi dalam obrolanku dengan Pak Koyan. Ternyata mengobrol dengan istilah ke-LDK-an atau istilah-istilah syar‟i tak seperti memasukkan tinta celup ke dalam air. Aku harus beradaptasi dulu untuk membuat Pak Koyan bisa ″melarutkan″ istilah Jamaah itu sebagai sebuah nama lembaga dan bukan nama aliran keyakinan atau agama baru. Kira-kira inilah satu contoh kecilnya.

Hal kedua adalah____

“Tenang Rif, aku percaya kok kamu nggak mungkin sesat seperti yang di dalam koran itu...” Pak Koyan memeluk bantal gulingnya sambil bersandar, “Kamu cuma terlalu kaku, Rif....” Alisku mengkerut.

“Kaku?” heranku.

“Aku ngerti kamu ikut horis di kampus...”

“ROHIS, Mas Koyan!” potongku.

“Yaah...apa-lah itu namanya. Aku pernah kenal beberapa mahasiswa yang mirip seperti gayamu ini,” aku tersenyum kecut, “Tapi yang kusayangkan yaa kalian itu seperti punya alam pikiran sendiri yang harus kalian paksakan ke orang lain...”

“Idealis maksud, Mas Koyan?” aku bertanya retoris dan sok keren dengan kosakata itu. Supaya terlihat lebih mahasiswa.

“Yaaah mungkin.” Pak Koyan terlihat mulai serius, “Kalian bergaulnya cuma dengan yang itu-itu saja, omongannya juga itu-itu saja, acaranya juga itu-itu saja, gayanya juga ya itu-itu saja, ceritanya juga――"

"――itu-itu saja!” potongku seraya bercanda.

Pak Koyan tertawa kecil, “Yaaa pokoknya kalau diibaratkan TV, kalian itu terlalu hitam-terlalu putih,” kupasang pendengaran lebar-lebar, “Tak berwarna-lah pokoknya. pantaslah itu nanti yang membuat aneh dan bikin persepsi kalau kalian itu aliran mecem-macem. Nah lho, kalau sudah begitu kan bahaya, Rif. Wajarlah kalau kalian bisa dianggap aneh karena terkesan mengkhususkan diri begitu....” Aku menggumal bibir.

Ini seperti tikaman telak pada karakter aktifis Dakwah Kampus yang umumnya memang sering terkesan eksklusif. Tak jarang aku mendengar hal ini. Tiba-tiba saja bayangan aktifitasku bersama kakak-kakak LDK, beberapa teman, dan aktifitas LDK berkelebat di pikiran. Aku merenung. Tak ada yang salah dari ucapan Pak Koyan, memang begitulah apa adanya.

Pak Koyan kembali tertawa, “Haduh, maaf-maaf-maaf. Aku tak bermaksud menghakimi lho ya. Nggak. Nggak bermaksud.” Pak Koyan berusaha menetralkan iklim obrolan kami, mungkin karena menangkap mimik wajahku yang berubah tak nyaman. “Ah, kalau bener juga nggak masalah Mas Koyan....” ucapku datar sambil menyembunyikan ketidaknyamanan yang muncul di pikiranku.

“Walah tersinggung nih yee...” kelakar Pok Koyan. “Tenaaang, kamu bisa jadi perkecualian kok, Rif.” Aku balas mencibir dengan usahanya menetralkan ekspresiku.Itulah hal keduanya――Masalah karakteristik aktifis dakwah di tengah masyarakat. Apa yang dikatakan Pak Koyan memang sedikit membuka pikiranku. 

Aku tak pernah sadar kalau ternyata setelah berkecimpung di dalam LDK, sedikit demi sedikit karakter, sikap, maupun penampilan aktifis dakwah umumnya menempel padaku. Seperti kata Pak Koyan, ada kesan para aktifis LDK itu kaku dan tak bisa melebur kedalam pergaulan diluar komunitas LDK. Eksklusif-lah istilahnya. 

Apakah benar semua aktifis LDK itu eksklusif?

Aku berfikir dan aku pun sadar diri. Ilmuku belumlah setinggi kakak-kakak di dakwah kampus. Pun mengaji dengan Kak Fauzi yang berwawasan luas dalam ke-Islaman membuatku merasa perlu terus untuk menyelami dien ini. Lalu mendapatkan obrolan seperti ini dengan Pak Koyan adalah momentum langka menurutku, dengan ini aku setidaknya siap dengan segala macam pemikiran diluar sana.

Begitupula dengan obrolan-obrolan di lain waktu. Setelah beberapa waktu lamanya, bahkan hingga sekarang aku bercerita padamu, aku baru mengerti ternyata sejak awal Pak Koyan-lah yang sebenarnya mengerti kondisiku. Ia berusaha mengerti semangatku mengaji Islam di LDK. Bahkan ia mendorongku untuk terus bersemangat mempelajari Islam di usiaku yang terbilang muda ini. Agar tak seperti dirinya―katanya. Karena tampaknya ia sendiri sadar kalau Ilmu Agamanya tidaklah setinggi siswa Madrasah Aliyah Negri, karena jelas usia telah mengeruk habis pikirannya untuk merangkai masa depannya yang belum juga terlihat terang. 

Begitulah Pak Koyan, sore itu aku mengobrol dengannya begitu alot hingga matahari melorot turun dan adzan maghrib hampir berkumandang. Tak terasa obrolan soal aliran sesat itu begitu seru dan membuka pikiran. Lelaki bujang usia kepala empat itu telah muncul sebagai manusia informasi di kosku. Walaupun hanya lulus SMP tapi kuakui, membaca telah mendidiknya menjadi orang yang berpikiran terbuka dan mengenal masalah-masalah yang jarang diperhatikan masyarakat kebanyakan yang mapan terhadap Ilmu dan pendidikan. 

Inilah kelebihan Pak Koyan menurutku. Suatu ketika dia pernah berkata “Apa gunanya koran yang kuantarkan setiap pagi itu kalau tidak dibaca. Bisa mubazir kemampuan membacaku, Rif.” Begitulah sederhananya pikiran Pak Koyan. Lelaki asli Sumatra Barat ini selalu bisa nyambung jika mengobrol dengan siapapun―Kalau diibaratkan koneksi internet, loading-nya dahsyat. Bahkan segala macam obrolan itu pun bisa sangat mengasyikkan ketika Pak Koyan ikut nimbrung di dalamnya. 

Mas Bima dan Mas Dudung pun mengakui itu. Obroalan di sore itu membuatku belajar satu hal, bahwa siapapun kita tak bisa hanya menilai orang dari penampilan fisiknya, karena bisa jadi sebuah cahaya nasihat terbit dari hatinya untuk kita. Begitulah, mungkin Pak Koyan adalah satu dari sekian orang yang punya pandangan sendiri terhadap generasi muda dakwah kampus. 

Pelajaran berharga yang membuat kita merenungi bahwa membumikan ayat-ayat Allah adalah perjuangan akhlak, tutur, dan ilmu yang perlu dilebur dalam hubungan muamalah. Dengan sederhana, menyentuh hati lebih dalam, dan merubahnya dengan kesabaran.

***




EMBUN

“Orang muslim adalah orang yang jika orang muslim lainnya tidak merasa terganggu
oleh lisan dan tangannya. Sedangkan orang mukmin adalah orang yang membuat
orang lain merasa aman terhadap darah dan hartanya.”
(Al-Haditsi)

“Tiada suatu amalan seorang hamba yang paling berat timbangannya pada hari
kiamat melebih akhlak yang baik.”
(HR. Abu Dawud)




BERSAMBUNG ...


KISAH SELANJUTNYA



1 komentar:

iron titanium - TITIAN ARTICLES
Iron titanium titanium chords is one of the rare metal used to create art prints for professional artists. This stone-type ceramic titanium ore work also makes its mark on titanium flashlight the titanium shift knob walls of titanium price per pound

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris