badge

Minggu, 02 Januari 2011

Catatan Lereng Merapi

Sejak tengah tahun 2010 setiap hari saya adalah hari libur, pasalnya status mahasiswa tinggal diujung tanduk. Jadilah hari-hari saya sejak waktu itu diisi dengan macam-macam aktifitas luar kampus. Sampai awal Januari tahun 2011 ini berlaku, semedi di depan laptop adalah rutinitas paling tinggi setiap pekan. Kalau tidak sedang menggarap skripsi, ya pastilah saya sedang menggarap naskah, utak-atik design, menulis blog, atau menyelesaikan urusan Organisasi.

Menengok kalender hari ini, 2 Januari 2011 adalah hari Minggu saya pikir tak ada salahnya kalau hari ini berbeda dengan hari yang lainnya. Pertama kali terbangun, saya terlambah shalat subuh, pasti karena semalam tidur pukul setengah 1 pagi. Jam di kamar menunjukkan pukul 05.10 menit ketika saya terjaga dengan suara panggilan TOA Masjid yang mengumumkan soal kesiapan untuk keberangkatan rombongan Bis.

Saya melompat dari tempat tidur dan bersegera mengambil air wudhu untuk shalat Subuh. Saya pikir agenda Minggu pagi untuk bakti sosial warga Kerasak batal karena tak ada pembahasan lagi sebelumnya. Tapi ternyata di pengumuman tadi diberitahukan kalau Bis sudah datang menjemput. Jadilah saya uring-uringan untuk memutuskan hari ini saya harus mengisi liburan kemana, karena sebelumnya memang sempat berwacana pada Helmi adikku kalau ingin liburan ke Pantai Depok hari ini. Tapi pagi ini, dia masih tidur meringkuk manja dibawah sarungnya.

Setelah shalat kutanya apakah kita jadi ke Pantai Depok. Ternyata dia jawab kalau pagi ini ada agenda sampai siang. Sip! Jadilah keputusanku, Minggu pagi akan kuisi bersama warga Kerasak menuju Merapi yang dua bulan lalu bergejolah hebat. Hari ini akan kulihat pertunjukan kekuasaan Allah. Of course it is live to me!

Tak ada waktu untuk berdandan. Yang terpenting bersih dan tidak memalukan di agenda bakti sosial terselubung ini. Kenapa begitu? karena semua ini agenda refreshing JSR (Jamaah Silaturrahim Remaja) Masjid Citra Fiisabilillah yang kebetulan memiliki kas lebih untuk disumbangkan pada korban Merapi. Ini membuat saya sangsi kalau bakti sosial memiliki porsi waktu yang lebih, karena saya rasa refreshing-lah agenda utamanya. Saya akui itu.

Saya berangakat ke Masjid, membangunkan Kak Salman yang ternyata sempat berniat tidak ikut acara ini. Tapi karena saya datang dan sudah siap, maka dengan terhuyung-huyung dari tidurnya ia bangkit dan ikut bersiap-siap. Sebelumnya Kak Salman memperhitungkan bakal lama dan tak sempat sarapan pagi ini. Jadilah dia mengajak saya untuk minum susu hangat sekedar untuk mengisi perut yang masih kosong.

Jam menunjukkan pukul 05.41 WIB. Kami berdua naik ke atas Bis yang juga sudah diisi oleh anak-anak JSR juga beberapa orang tua. Aroma mesin dan pengapnya bis sudah membuat mual di perut. Saya berpikir untuk siap-siap dengan segala kemungkinan untuk muntah di tengah perjalanan nanti. Tapi untunglah saya sedang membawa teman setia di tangan saya, sebuah Novel Detektif Genius karya Lee Goldberg, Detektif Monk. You must be know about him!

Jadilah buku ini yang membantu saya menghilangkan rasa mual karena aroma pengap di dalam bis, saya mengalihkan fokus dengan membacanya sepanjang perjalanan. Tak perduli bis berbelok ke keri atau kanan, menuju jalan mana, memasuki gapura yang mana, melewati dusun apa, yang jelas ketika saya sempat menengok keluar jendela. Saya melihat papan SD Cancangan di yang melintas cepat. Mungkin Cancangan adalah nama daerah yang kami lintasi, sementarai itu saya kembali fokus pada Monk.

Tepatnya pukul 06.35 WIB kami sudah sampai di Jl. Bebeng Km 22, Pengukrejo, Melewati gerbang masuk lokasi Erupsi Merapi dan berhenti sementara untuk menunggu warga lainnya yang naik motor di belakang kami. Saya melompat turun dari Bis, menghirup udara gunung yang segar, sangat segar bahkan. Saya tidak akan menyangka kalau udara segar seperti ini pernah ada, tapi tentunya tidak saat merapi meletus tanggal 26 Oktober 2010 lalu. Lokasi Erupsi Merapi tempat yang berbahaya tampaknya. Karena sekitar 100 m di depan sana sudah terlihat pohon-pohon yang meranggas karena digulung wedus gembel dari atas merapi. Beberapa rumah berwarna putih puing dan sebagian tak beratap. Mengerikan.

Cukup ramai pengunjung sepagi ini. Lokasi yang memakan korban memang menyita perhatian bahkan bisa menjadi hiburan untuk orang yang mencari liburan. Hehe. Lalu lalang motor, mobil sedan, pickup, jip dan sepeda lengkap melewati palang bambu naik turun yang membantu petugas penjaga menertibkan pengunjung. Beberapa warga yang naik motor menyusul masuk dan berhenti sementara sebelum melanjutkan ke puncak yang sebenarnya.

Pukul 07.06 WIB kami tiba di parkiran Lokasi Erupsi Merapi. Entah nama daerah ini dulunya apa. Tapi yang jelas tempat ini sudah tak berbentuk lagi. Rumah-rumah tinggal puing, pepohonan bambu, pinus, dan kawan-kawannya tumbang-patah tak berbentuk. Yang terlihat jelas di mata saya adalah bukit-bukit gundul meranggas, juga tebing curam yang menganga “telanjang” di kiri dan kanan kami. Tanah yang saya pijakpun tampaknya bukan permukaan tanah sebelumnya, ini pastilah tanah vulcanic yang keluar dari dalam merapi. Seperti tadi di depan gerbang Bebeng, saya mencoba menghirup udara dalam-dalam, berharap dapat udara segar eh ternyata bau belerang membuat alis mengkerut. Ah akhirnya harus menahan nafas juga, udaranya tidak terlalus segar disini.

Perjalanan dimulai walaupun bisa dibilang masih ada juga kendaraan yang mendaki ke tempat yang lebih tinggi. Kalau dikatakan ini rombongan juga tidak, karena kami memilih jalan dengan kawannya masing-masing. Tentunya saya dengan Kak Salman, walaupun saya tahu Kakak tingkat saya itu selalu berjalan cepat dan jarang menoleh ke belakang. Seperti jamaah haji yang berjalan menuju padang arafah, hanya saja ini pakaiannya warna-warni bukan putih. Manusia seperti semut di dataran tinggi ini, beriringan menuju lereng merapi.

Saya dan Kak Salman menyusuri garis batas aman yang dipasang oleh petugas menuju ke utara. Beberapa kali menaiki pohon tumbang untuk melihat lebih jelas jurang curam yang tampaknya mengapit Kali Gendol. Menyeramkan sekali. Menoleh ke utara, saya akhirnya yang sejak tadi sudah jelas raksasa Merapi menonton kami. Kawahnya yang terbelah menghadap selatan, awan putih bergerak cepat di sekitar puncaknya. Maha suci Allah dan terpujilah segala kebesaranNYA. Sepertinya tak akan pernah ingin kubayangkan bagaiamana ketika itu warga di lereng ini menghadapi awan panas dan hujan api dari perut raksasa itu.

MerapiEruptionW

Inilah Desa Kinahrejo, desa di lereng merapi yang berjarak kurang lebih 4 Km dari puncak si raksasa. Tempat yang sekarang terbentang lapang tanpa pepohonan maupun rumah-rumah berdiri di atasnya. Sempat nyeletuk dengan Kak Salman, “Mungkin saja masih ada jenazah korban yang tertimbun atau habis terbakar jadi abu di tempat ini hiiii…”

Awan menggantung di langit, tidak mendung dan tidak pula terlalu terang. Sekarang pukul 07.32 WIB dan matarahi di sebelah timur sana hanya berpendar di balik awan. Kami baru saja sampai di Sasana Laya Mas. Ngabehi Suragso Hargo, sebuah area pemakaman Desa Kinahrejo yang masih terlihat beberapa undak dan nisan di atasnya. Dengar-dengar kemarin Makam Mbah Marijan ditempatkan di sini sebelum akhirnya dipindahkan. Entahlah…

Selanjutnya kami naik ke dataran yang lebih tinggi, dataran dimana kami bisa melihat bukit, kawah merapi yang menganga, dan dataran Desa Kinahrejo yang sekarang tampak datar, pondasi satu pun tak lagi tampak. Saya berpikir, ini aja baru Desa gimana kalau seluruh permukaan bumi rata. Fyuh…pasti itu sudah jadi Padang Mahsyar yaumil akhir…astaghfirullah.

Disini kami dapat melihat puncak merapi yang tertutup kabut, sedang di dataran lapang nun jauh di sebelah timur kami melihat bebatuan besar yang tanahnya mengeluarkan asap. Menurut para petugas/ relawan yang memperingatkan, asap itu mengandung gas beracun! Hufth! Jangan coba-coba foto-foto di dekatnya atau iseng-iseng ngirup udara di tempat itu, bisa semaput.

Lebih ke barat dari bebatuan berasap itulah tanah kediaman Mbah Marijan (Alm.) terbentang. Sekarang hanya tanah rata yang ada, setelah sebelumnya pasca bencana puing-puing rumah masih berdiri. Seperti di bawah ini:

Indonesia Volcano

Perjalanan selanjutnya, Kak Salman mengajak saya turun ke area itu. Berputar melalui jalan utama di sebelah utara yang tampaknya dulu adalah gang kecil yang menurun namun sekarang sudah dipenuhi kerikil dan pasir sisa abu vulkanik. Sisa-sisa masjid sudah tak tampak, hanya pagar dari bambu yang menunjukkan area itu adalah sebuah Baitullah.

Tidak jauh di sebelah timur terlihat area rumah Mbah Marijan (Alm.) yang dikelilingi para pengunjung, hanya sebuah tempat yang juga tampaknya telah dibersihkan dari puing-puing sisa bencana, mengingat berita-berita pasca bencana, dimana di area itulah Mbah Marian (Alm.) ditemukan meninggal adalam kondisi bersujud juga di sekitarnya masyarakat beberapa jenazah Desa Kinahrejo korban Wedus Gembel tergeletak.

“Ris, tunggu bentar ya mau ke sana dulu.” Kak Salman menuju WC umum yang berjajar di sebelah tenggara rumah, berada di lahan satu tingkat di bawah tenggara rumah Mba Marijan (Alm.). Karena haus kusempatkan mampir di warung terdekat untuk membeli minum. Ingin sedikit berlama-lama di tempat itu, setidaknya untuk mengganjak perut setelah tak sarapan pagi tadi.

Tapi tampaknya tak sempat, karena beberapa orang rombongan sudah mulai turun menuju jalan utama, kembali ke lokasi Bis. Kak Salman juga sudah selesai dari hajatnya, ya jadilah saya siap kembali berjalan setelah membeli minum. Kami melangkah turun sebelum akhirnya Kak Salman mengatakan kalau warung itu milik adik kandung Mbah Marijan (Alm.) TUING! Kok bisa? tanyaku dalam hati sampai akhirnya ditunjukkan papan kecil yang menempel pada bambu gubuk warung yang bertuliskan: Warung Bu Udi adik Mbah Marijan. Kutengok-tengok, benar oi salah seorang pedagangnya tampak mirip sekali dengan lelaki bintang iklan Roso-roso itu. Ah, semoga Allah memberi ketabahan pada Bu Udi dan sanak family yang ditinggalkan Mbah Marijan (Alm.)

Jam sudah menunjukkan pukul 08.23 WIB. Matahari memang tak terlihat karena tertutup awan kelabu di sebelah timur. Membuat perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Saya dan Kak Salman sepakat mampir di pinggir jalan, membeli bakpao untuk sekedar mengganjal perut, huft…alhamdulillah.

Sepertinya cukup lama kami mengobrol sambil menghabiskan bakpao “penyelamat perut” itu! Kami sadar dan akhirnya segera bergegas menuruni jalan utama menuju tempat bis terparkir, seiring waktu tampaknya arus pengunjung sisa-sisa bencana merapi di Desa Kinahrejo tidak berkurang, justru semakin bertambah.

Sampai di tempat parkir tak disangka, ternyata kamilah orang terakhir yang ditunggu Bis sebelum berangkat pulang! wah wah wah maaf kawan-kawan semua! Akhirnya bis-pun mulai menderu dan bergerak kembali menuju Kota Yogyakarta, perjalanan yang tak terasa melelahkan kecuali saat ada di bis. Aaaah saya dan Kak Salman tak kebagian tempat duduk, jadilah saya berdiri setia hingga Yogya, wow sekitar 30 menit-lah! Hufh!

Perjalanan pulang cukup lancar membawa kesan tak terlupakan, “Mas Haris!” Ucap ketua JSR yang berjalan di gang bis menuju tempatku berdiri,”Bagaimana? jadi bikin pers release buat bakti sosial kita?”

DUENG! tuh kan! emang kapan Bakti Sosialnyaaaaa?

Ah, maaf untuk kali ini saya tak menyanggupi permintaan itu. Bukan karena tak ingin membantu, tapi lebih karena: sungguh ini mah rihlah bukan bakti sosial! Wong kita aja tak tahu dimana tadi tempat bakti sosialnya, walaupun di foto yang ditunjukkan kalau salah satu “Bapak terhormat” di dalam Bis mewakili menyerahkan sumbangan tersbut. Ah…Bapak-bapak? Kok nggak remaja aja sih biar ada pembelajaran untuk mereka! Hufh…

Yaaa tak apalah, yang jelas hari ini adalah hari dimana saya merasa sangat kecil di dunia! Sungguh karena Sang Pemilik alam telah menunjukkan kekuasaan dan kebesaranNYA. Terima kasih yaa Allah, atas segala cintaMU bagi kami, atas segala teguranMU bagi kami!

02 Januari 2011

Lelaki Kecil di lereng merapi

Hai boi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dan meninggalkan kesan menyenangkan. Mari ngobrol asyik tentang apapun di blog nyantai ini. Semoga berkenan ya boi. Salaam #GoBlog ^_^


Terima Kasih

Halama Haris